Komunitas Hysteria; Terjun Langsung Jawab Kebutuhan Masyarakat

Barisan kendaraan bermotor memenuhi jalanan Gatot Soebroto. Dalam kepul asap dan bising suara kendaraan bermotor, seseorang memesan makanan kepada pedagang yang berdagang di atas trotoar. “Pecel lele satu ya, Bu,” ucapnya dengan logat Jawa yang kental.

Pria yang bernama Bagus itu sedang menginap di Hotel Crown, Jakarta. Beberapa hari ini, komunitas tempatnya bernaung, komunitas Hysteria, didaulat menjadi salah satu pengisi materi dalam acara Climate Week yang diselenggarakan di hotel tersebut.

Komunitas Hysteria adalah sebuah komunitas asal Semarang. Bagus menceritakan bahwa komunitas ini adalah komunitas yang bergerak di akar rumput. Dalam artian, Hysteria terjun langsung dalam menangani permasalahan yang ada di masyarakat, khususnya masyarakat Semarang. Menurut Bagus, Hysteria bukanlah komunitas yang turun pada masyarakat setelah adanya masalah, namun lebih pada tindakan preventif yang bertujuan menyadarkan masyarakat.

“Kita datang ke kampung-kampung, terus kita tanyakan apa kebutuhan mereka. Lalu kita bikin program sesuai dengan kebutuhan mereka,” jelas lelaki berusia 34 tahun ini.

Sama halnya dengan kota besar yang lain, Semarang menurut Bagus juga memiliki permasalahan-permasalahan sosial yang sering kali menjadikan rakyat kecil sebagai korban. Bagus menyebutkan lima kampung tua di Semarang yang diubah menjadi hotel atau pusat perbelanjaan. Padahal, kampung-kampung tersebut memiliki nilai historis tersendiri karena menjadi saksi bisu kehidupan di Semarang. Warga yang sebelumnya menempati kampung-kampung tersebut harus pindah karenanya.

Bagus juga menyebutkan bahwa perhatian pemerintah kota terhadap situs-situs bersejarah di Semarang sangatlah kurang. Program pemerintah kota yang memusatkan pembangunan tanpa melihat konteks budaya dan historis, sebut Bagus, hanya akan menjadikan Semarang menjadi kota ahistoris. Menurutnya, jika pemerintah kota saja telah melupakan jati dirinya, masyarakat pun akan semakin terpuruk dengan keadaan tersebut.

“Enggak masalah kita bodoh, tapi kita harus peka dan sadar terhadap hal vital di sekitar kita,” tegas lelaki bernama lengkap Oktavianto Bagus Prakoso ini.

Dengan keadaan demikian, Hysteria pun terjun langsung pada masyarakat. Program yang dibuat pun berdasar pada kebutuhan masyarakat tersebut. Ia mencontohkan adanya program pengajaran bahasa Inggris dan bahasa Jawa pada anak-anak di beberapa daerah perkampungan Semarang. Menurutnya, dengan mengajarkan bahasa Inggris, anak-anak secara tidak langsung dipersiapkan untuk menghadapi perdagangan bebas. Bahasa Jawa yang menjadi identitas anak-anak Semarang diajarkan dengan harapan agar mereka tetap mengingat akar budayanya, di mana pun mereka berada kelak.

“Kita tidak dapat terus melawan pembuat kebijakan, tapi lebih menguatkan masyarakat agar nantinya dapat memenuhi dan mengurus kebutuhannya sendiri,” ujarnya.

Sumber: Greeners

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *