Civic-Islam Indonesia: Studi dan Gerakan Sosial untuk kebangsaan Indonesia

Civic-Islam adalah paradigma yang kurang lebih dari semangat perjuangan kewargaan, sebagai jawaban atas kekosongan imajinasi umat Islam dalam ruang kehidupan publik. Itulah barangkali yang paling mendasar terkait pentingnya nilai-nilai kewargaan muslim agar berkonstribusi pada bangsa dan mampu menunjukkan bahwa Islam memang agama yang konsen pada civilization, yang setara pemaknaannya dengan peradaban.
Civic seringkali diasumsikan dengan kehidupan kota karena memang basis literalnya demikian. Namun, dalam konteks keilmuan yang lebih luas, menurut AE Priyono sebagaimana dijelaskan dalam wawancara di situs Katakini.com, “sebenarnya pengertian generik pada istilah ‘civic’ tak ada urusannya dengan geografi atau demografi. Islamic-citizenship juga tidak mesti harus dipahami sebagai subjek politik yang berbasis pada identitas keagamaan.

Beberapa alasan gerakan ini terbentuk adalah karena melenyapnya diskursus Islam-modernis yang dibawakan oleh tokoh-tokoh generasi 1980an/1990an yang pada dasarnya banyak mengusung gagasan-gagasan mengenai Islam dan keindonesiaan. Dalam konteks politik, demokratisasi Indonesia menghadapi jalan buntu (political impasse). Lalu, munculnya kemungkinan pengembangan model demokrasi alternatif, khususnya di kalangan aktivis muda perkotaan, sebagaimana diwujudkan dalam gerakan relawan. Di luar itu, Islam-politik informal bergerak tanpa arah, terpecah-pecah, dan tetap dalam situasi termarginalkan. Tiga kecenderungan umum: (i) mengalami konservatisasi [menjadi pasif secara sosial, mengalami privatisasi-eskapis], bergerak menjadi bagian dari radikalisasi global [menjadi sangat aktif secara politik, menjadi bagian dari wacana Islam fundamentalis transnasional], atau (iii) menjadi bagian dari status-quo (JIL, misalnya, terjebak menjadi pendukung sistem politik liberal dan sistem ekonomi neoliberal).

Subjek politik Muslim yang memiliki kapasitas deliberatif-partisipatoris, mampu mempolitisasi ruang-publik agar menjadi civic public-space, yang inklusif, pluralis, dan toleran, sekaligus yang mampu menanamkan nilai-nilai kebajikan (ethical-virtue), itulah agenda yang harus dikembangkan melalui diskursus civic-Islam. Pada sisi sebaliknya, agenda civic-Islam juga harus diarahkan untuk menjadi wahana bagi berkembangnya spirit emansipatoris, serta ajang konsolidasi untuk pembelaan bagi mereka yang berada dalam posisi-posisi marginalitas. Singkatnya civic-Islam harus berada pada posisi yang radikal untuk memperjuangkan transformasi ke arah keadilan sosial dan kesejahteraan ekonomi – dua isu yang sepenuhnya gagal dicapai baik oleh neoliberalisme maupun fundamentalisme.

Foto dan narasi diambil dari laman Facebook Civic Islam Indonesia.

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *