ROOM OF HOPE; Gerakan Gelang Harapan Untuk Penderita Kanker

Di salah satu sudut ruangan lobi Departemen Radioterapi RSCM, Jakarta yang tidak terlalu luas, nampak seorang perempuan setengah baya yang tengah memusatkan perhatiannya pada potongan kain warna-warni sepanjang 20 cm di tangannya. Ia mengepang dan memilin kain itu mirip mengepang rambut. Tak sedikit pun di wajahnya terlihat raut kesulitan melakukan aktivitas itu. Apalagi, sebelumnya ia juga sudah mendapat pelatihan singkat tentang cara memilin dan mengepang potongan kain. Ia juga tidak sendirian. Di tempat yang sama, masih ada 6 perempuan lain yang duduk di sebuah kursi panjang yang masing-masing juga sibuk memilin dan mengepang potongan kain berwarna-warni untuk dijadikan gelang.

Bagi mereka, kegiatan memilin gelang memang menjadi cara jitu mengisi waktu selama menunggu giliran kemoterapi di rumah sakit tersebut. Mereka selalu datang sekali seminggu untuk pengobatan, dan setiap kali datang harus menunggu giliran berdasarkan nomor antre karena banyaknya pasien. Lamanya bisa sampai setengah hari. Maka daripada hanya bengong saja, mereka pun menerima tawaran mengepang kain jumputan untuk dijadikan gelang. Kalau sudah jadi, satu gelang itu dihargai Rp 10.000. Bila sehari bisa membuat 3 gelang, hasilnya cukup lumayan untuk pengganti uang makan selama menunggu.

Kegiatan membuat gelang harapan menjadi pemandangan baru di Room of Hope atau Ruang Harapan bagi penderita kanker, sejak diperkenalkan 15 September 2015 silam. Acara tersebut dihadiri Ketua Penanggulangan Kanker Nasional Prof. DR. dr.Soehartati Gondhowiardjo, Wulan Guritno, Janna Soekasah-Joesoef dan Amanda Soekasah dari tim gerakan Gelang Harapan yang juga disebut Warrior of HOPE, serta desainer Ghea Panggabean sebagai Koordinator Cancer Information On Support Center (CISC).

Berawal dari ide sederhana tiga sahabat, Amanda Soekasah, Wulan Guritno, dan Janna Soekasah, yang ingin membuat budaya solidaritas di antara anak muda demi membantu penderita kanker. Kanker sengaja dipilih karena menjadi penyakit yang paling dekat. Beberapa teman mereka punya saudara maupun tetangga yang mengidap kanker. Selain itu juga karena jumlah penderita kanker terus bertambah. Maka dari situlah ketiganya merasa ada sesuatu yang perlu disebarkan. Suatu ketika, ketiganya bertandang ke ruang kerja Prof. DR. dr. Soehartati Gondhowiardjo yang merupakan Ketua Penanggulangan Kanker Nasional. Saat melewati ruang tunggu, mereka melihat banyak sekali pasien yang menunggu giliran pengobatan. Karena banyaknya pasien kanker yang ingin melakukan pengobatan, sementara ruang radioterapi maupun kemoterapi di RSCM sangat terbatas, para pasien itu pun harus rela antre menunggu selama berjam-jam, hingga lebih dari setengah hari.

Dari situlah timbul ide untuk memberdayakan para pasien dan keluarga tersebut sambil mengisi waktu selama menunggu. Ketiganya lalu menawarkan kegiatan mengepang kain untuk dijadikan gelang. Hasilnya para pasien itu akan mendapat uang yang bisa digunakan untuk transport atau biaya makan. Dan ternyata banyak yang bersedia. Kemudian mereka mendatangi desainer legendaris Indonesia Ghea Panggabean, yang juga ibunda dari Amanda dan Janna Soekasah. Mereka meminta izin agar kain jumputan sisa milik beliau boleh dijadikan gelang. Beliau pun setuju. Kain jumputan bermakna juga kain pelangi, dan pelangi itu adalah simbol dari harapan. Dari situlah tercipta bracelet of hope (gelang harapan) yang mereka jual, dan 100 persen keuntungannya untuk penderita kanker.

Setiap keluarga yang mengikuti program gelang harapan akan mendapat sebuah boks kecil berisi beberapa helai kain jumputan dan peralatan mengepang. Boks beserta isinya boleh dibawa ke rumah bagi yang ingin melanjutkan pekerjaannya di rumah masing-masing. Bagi yang mengerjakan di RSCM, bisa menggunakan ruangan di salah satu sudut ruang tunggu Departemen Radioterapi RSCM. Setelah dikepang, finishing-nya tetap dilakukan pihak supplier. Tiap gelang yang mereka kerjakan dihargai Rp 10.000. Memang mengerjakannya perlu ketekunan. Kalau sudah terbiasa, dalam sehari bisa mengerjakan 4-5 gelang.

Ghea sendiri tidak menyangka sisa kain jumputan yang tadinya tidak berarti justru bisa menjadi gelang unik bercorak warna-warni. Dia pun betul-betul terharu saat bisa melihat sendiri perkembangan dari aksi solidaritas itu. Awalnya dia hanya mengira kegiatan itu hanya sekedar iseng saja, tapi nyatanya bisa berguna untuk membantu penderita kanker. Ghea bersyukur Tuhan bisa menunjukkannya jalan hingga bisa ikut melihat teman-teman dan saudara-saudaranya yang masih memiliki harapan dibalik sakit kanker yang dialami. Ghea memang sudah tertarik membuat kain jumputan sejak menjadi desainer. Sejak masih gadis dia sudah hobi memakai scraft jumputan warna-warni, karena dirinya menyukai gaya bohemian. Dia lalu mempopulerkan kain jumputan pada dekade 1980, bersanding dengan Iwan Tirta dan Prayudi yang sudah lebih dulu mempopulerkan batik.

Wulan, Amanda, dan Janna tentu sangat berterima kasih kepada RSCM yang sudah memberikan tumpangan untuk aski mereka di Room of Hope meski hanya menempati ruang yang kecil. Cita-cita mereka selanjutnya adalah ingin memiliki rumah harapan.

Sumber: Blog Indonesia Feature

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *