Komunitas Orkes Ukulele Indonesia; Wadah Para Penggemar Ukulele Lintas Generasi

”Trang trung trang trung….” Tidak hanya menghibur hati, dentingan ukulele saling mendekatkan jiwa para pemetiknya yang tengah studi di Australia. Persahabatan mereka tetap berlanjut sekembalinya ke Indonesia.

Di ”Benua Kanguru”, alat musik petik ini cukup populer. Mudah diperoleh di toko alat musik dalam berbagai variasi kualitas.

Awalnya, Suharti Sutar kerap menemani anaknya, Fauzi Maulana Akbar (20), bermain gitar bersama rekan Suharti yang juga tengah studi di Australia, Sukasah Syahdan.

Sukasah dan Fauzi kemudian mencoba belajar bermain ukulele. Suharti, Imma Batubara yang tak lain istri Sukasah, serta seorang rekan mereka lainnya, Ruri, lantas ikut-ikutan belajar.

”Saya seumur-umur enggak bisa main alat musik meski pengin banget. Ternyata belajar ukulele seharian saja sudah bisa mainnya. Bisa main alat musik di usia 40 tahun itu sesuatu sekali rasanya,” kata Suharti yang saat di Canberra mengambil gelar PhD di bidang kependudukan.

Kegiatan iseng-iseng ini kemudian diminati teman-teman mereka, sesama mahasiswa asal Indonesia yang kebanyakan tengah kuliah S-2 dan S-3 di berbagai perguruan tinggi di Canberra, Australia. Sebulan kemudian, pada bulan Maret 2012, sebanyak 11 orang yang sering berkumpul bermain ukulele ini mengikuti Canberra Got Talents yang digelar Perkumpulan Pelajar Indonesia (PPI).

Mereka menamakan diri Orkes Ukulele Indonesia (OUI). Penampilan mereka ternyata menarik perhatian khalayak setempat sehingga terpilih sebagai juara favorit.

Dari panggung ke panggung
OUI kemudian tampil dari satu panggung ke panggung lainnya, antara lain di Australian National University (ANU), Kedutaan Besar RI di Canberra, dan muncul di berbagai festival. Dalam setahun, mereka bisa tampil lebih dari 10 kali.

Saat tampil di Canberra Ukulele Festival of Fun (CUFF) 2012, OUI menjadi satu-satunya penampil yang mendapatkan tepuk tangan kehormatan (standing ovation) dari penonton. Mereka menggabungkan permainan ukulele dengan beragam tarian Nusantara.

Berbagai lagu mereka mainkan, mulai dari lagu-lagu barat lawas, masa kini, hingga lagu-lagu keroncong dan lagu daerah Nusantara. Lagu-lagu seperti ”Waltzing Mathilda”, ”Misirlo”u, ”Stamboel Cha Cha”, ”Aku Disini Untukmu”, hingga lagu-lagu Maroon 5 dan Kla Project dimainkan dengan orkes ukulele.

Kegiatan yang mirip ekstrakurikuler ini juga dimanfaatkan untuk menarik minat siswa-siswa sekolah menengah atas setempat untuk masuk ANU yang memiliki program studi Bahasa Indonesia.

”Kami bikin Indonesian Day. Salah satu acaranya adalah workshop ukulele dan keroncong. Kami pakai baju-baju daerah, demo masak masakan Indonesia, dan mengajak calon mahasiswa main ukulele bareng,” kata Imma yang bersama Sukasah bertindak sebagai pimpinan OUI.

Salah satu yang membuat OUI menarik perhatian adalah adanya penambahan cak dan cuk yang biasa dipakai oleh orkes keroncong di Tanah Air.

Alat musik ini khusus dibeli Suharti di Solo ketika sempat pulang ke Tanah Air.

Selain itu, OUI juga menambah alat musik selo dan bas yang membuat musik mereka terdengar lain dari yang lain.

Penampilan mereka pun khas karena menggunakan kostum batik, kain dan kebaya, atau baju-baju adat Nusantara lainnya.

Mereka rutin berlatih seminggu atau dua minggu sekali. Lokasinya bisa di tempat tinggal salah satu anggota OUI, di taman kota, atau di tepi danau.

Selain latihan, acara kumpul masih dimeriahkan dengan masak-masak dan makan-makan. Total, OUI sempat memiliki 50 anggota. Separuh kini telah kembali ke Tanah Air.

”Gabung dengan OUI itu kayak obat stres, untuk pelampiasan. Bisa gila kalau enggak ada kegiatan lain selain kuliah karena tekanannya tinggi. Saya juga jadi menemukan hobi yang lain, main ukulele dan masak,” ungkap Citra Dillon yang sebelumnya bermain piano dan gitar.

Setiap anggota juga merasa seperti mendapat keluarga baru dalam OUI. Di sela-sela bermain ukulele, masak, atau makan bersama, mereka kerap berbagi pengalaman dan saling dukung atau memberi motivasi dalam studi.

”Hari Sabtu atau Minggu yang menjadi jadwal latihan menjadi hari yang benar-benar saya tunggu untuk melepas stres. Don’t forget to have fun. Hidup harus seimbang. Jangan bikin hidup lebih stres lagi,” kata Citra yang sering pula didapuk menjadi vokalis.

Lanjut di Indonesia
Keakraban mereka ternyata tak berhenti ketika studi usai dan harus kembali ke Tanah Air. Kegiatan berlatih ukulele tetap dilanjutkan oleh alumni mahasiswa dari Canberra. Hanya saja, waktu latihannya tak bisa rutin seperti ketika masih di Australia.

Biasanya, mereka akan berkumpul di rumah salah satu anggota, seperti pertemuan terakhir yang bertempat di rumah Sukasah di Ciputat, Tangerang Selatan.

Setelah makan-makan, mereka akan berlatih ukulele. Di luar itu, mereka masih intens berkomunikasi lewat grup media sosial Whatsapp.

”Penginnya sih di Jakarta ini bisa kumpul lebih sering lagi. Sayangnya, jalanan macet dan masing-masing punya kesibukan yang sulit ditinggalkan,” kata Sukasah.

Kini, setiap anggota telah kembali pada pekerjaannya. Ada yang jadi dosen, pegawai negeri sipil di berbagai instansi, atau pegawai bank. Namun, mereka berharap dapat kembali tampil dan eksis seperti saat dulu di Australia.

Meski berawal dari kelompok mahasiswa yang berkuliah di Canberra, mereka membuka kesempatan kepada siapa saja yang ingin bergabung dan berminat belajar ukulele.

Kegiatan mereka bisa disimak lewat grup Orkes Ukulele Indonesia di situs pertemanan Facebook dan kanal Youtube.

Sumber: Wartakota

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *