Ia merasa sedih sekaligus geram tiap kali melihat anak-anak yang putus sekolah, terlebih mereka yang masih buta huruf. Karena baginya pendidikan itu penting dan bukan sekadar jadi modal untuk mencari pekerjaan.
“Pendidikan tinggi itu penting untuk membentuk mental, karakter, dan juga kepribadian seseorang,” ujarnya.
Wanita berhati mulia ini adalah Anggun Pesona Indah Puspita, pendiri Komunitas Terminal Hujan, sebuah komunitas yang peduli terhadap pendidikan anak-anak di daerah perkampungan tengah kota. Lewat komunitas ini, ia ingin memberikan kesempatan dan dorongan kepada anak dan juga orang tua dalam hal mendapatkan pendidikan tinggi, lewat pelajaran CALISTUNG (baca, tulis, hitung) serta pemberian beasiswa kepada anak-anak kampung agar mereka tak putus sekolah.
Hingga saat ini Komunintas Terminal Hujan sudah mengadakan kegiatan di tiga kampung yang berdekatan di kota Bogor, yaitu Kampung Jukut, Kampung Pulo dan Kampung Kelurahan Sukasari.
Kegemaran Berbagi dan Inspirasi dari Liputan Koran Lokal
Sejak duduk di bangku kuliah, Anggun memang suka terlibat dalam berbagai kegiatan sosial dan kerelawanan. Ia tak pernah bisa berdiam diri tak melakukan apapun. Ia sangat vokal menyuarakan ide-ide tentang sistem pendidikan yang ideal. Bahkan setelah menyelesaikan pendidikan di bangku kuliah dan mulai bekerja, ia mulai merasa kehilangan banyak waktu untuk melakukan kegiatan sosial. Hal itu membuatnya gelisah sehingga mulai mencari cara bagaimana dan ke mana bisa menyalurkan kerinduannya untuk berbuat sesuatu.
Pendirian komunitas ini ia akui awalnya terinspirasi dari kegiatan pemberdayaan masyarakat dan anak-anak yang dilakukan oleh Ketua Lembaga Perlindungan Anak Bogor, drg. Wan Aisyah, yang ia lihat di sebuah pemberitaan koran lokal. Tak berpikir panjang, karena hatinya sudah rindu untuk berbuat kebaikan, ia nekat menghubungi koran tersebut dan menanyakan kontak ibu yang akrab dipanggil Umi itu.
Singkat cerita, mereka pun bertemu dan Anggun ikut berkontribusi bersama Umi ke sebuah perkampungan dekat terminal Barangsiang, Bogor, Jawa Barat atau tepatnya Kampung Kebon Jukut. Mereka memberikan pengajaran dan memberdayakan masyarakat di kampung itu. Rupanya kegiatan yang ia lakukan bersama Umi sontak memberikannya refleksi dan dorongan.
“Saya prihatin banyak anak-anak dari kampung ini yang tak bisa membaca, menulis dan berhitung, serta banyak yang putus sekolah. Dan akhirnya pada tahun 2011 saya memutuskan mendirikan Komunitas Terminal Hujan dengan mengajak dua orang teman,” ungkap Anggun.
Sulitnya Menghadapi Tekanan Warga
Mendirikan komunitas ini diakui Anggun tak mudah, terutama dalam hal pembangunan kepercayaan orang tua yang anak-anaknya ikut serta dalam kegiatan Terminal Hujan. Menurutnya dibutuhkan pendekatan yang mendalam kepada anak dan orang tua.
“Pada awal melakukan kegiatan, banyak orang tua yang ikut mengawasi anak-anaknya berkegiatan. Bahkan masih banyak orang tua yang malah menyuruh anaknya untuk bekerja daripada ikut kegiatan belajar bersama kami,” kata Anggun.
Tak hanya itu, karena komunitas buatannya ini tak punya tempat tetap untuk berkegiatan, mereka terpaksa berpindah-pindah. Tak jarang komunitas ini juga menghadapi tekanan dari beberapa warga atau penguasa tempat tersebut untuk membayar sejumlah uang sebagai sewa pemakaian tempat.
Tapi Anggun bersyukur bahwa setelah 5 tahun berjalan dan konsisten berkomunikasi dengan para orang tua serta anak-anak, kepercayaan itu mulai tumbuh. Para ibu juga tak lagi cemas saat anak-anaknya berkegiatan di Komunitas Terminal Hujan.
“Salah satu pencapaian yang dirasa sangat berarti adalah kesadaran para orang tua dan anak-anak soal pentingnya pendidikan tinggi sudah mulai terlihat. Meski ada beberapa dari mereka yang masih bekerja di sekitar terminal, buat saya nggak masalah, asal mereka masih rajin ikut kegiatan belajar bersama kami,” ujar Anggun lega.
Pemberdayaan Kampung di Tengah Perkotaan
Tak hanya peduli dengan pendidikan anak-anak di kampung Jukut, Anggun bersama komunitasnya juga mulai memberdayakan para orang tua. Ia ingin sekali menciptakan ekosistem yang baik di kampung ini, pasalnya, meski letaknya di tengah kota bukan pelosok, kampung ini masih punya sumber daya yang terbatas, mulai dari ekonomi hingga manusianya. Untuk itu ia dan komunitasnya punya program pemberdayaan ibu-ibu kampung setempat untuk memberikan sumber penghasilan bagi mereka. Mereka rutin memberikan pelatihan mengolah pangan, salah satunya adalah proses pembuatan telor asin.
Belajar Sabar dan Makin Gigih
Banyak sekali pelajaran yang bisa ia ambil dalam membangun dan mengelola komunitasnya.
“Saya akui sekarang menjadi pribadi yang lebih sabar, konsisten dan gigih. Saat berhadapan dengan berbagai tantangan, saya tak lagi gentar. Kemampuan komunikasi persuasi saya juga semakin baik, intinya saya jadi punya kemampuan yang cukup baik untuk menerjemahkan ide kepada orang lain,” kata perempuan lulusan Universitas Indonesia ini.
Hingga saat ini, perempuan yang sedang disibukan dengan kegiatan mengajar marketing dan social enterpreneur di sebuah perguruan tinggi swasta ini masih aktif memantau kegiatan mengajar di Komunitas Terminal Hujan, meski tak berurusan langsung dengan kegiatan operasionalnya.
Keinginan Terdalam Anggun
Dalam percakapan lewat telepon malam itu Ia juga menitipkan harapan kepada anak-anak prasejahtera di Indonesia agara tak berhenti sekolah dan sebisa mungkin melajutkannya ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
“Saya juga berharap mereka yang sudah berhasil menempuh pendidikan tinggi bisa membagikan ilmunya kembali kepada masyarakat, khususnya anak-anak prasejahtera dan putus sekolah. Selain itu, saya juga berharap Komunitas Terminal Hujan dapat menjadi sebuah yayasan dengan pendanaan mandiri dan secepatnya kami bisa mendapatkan tempat permanen untuk berkegiatan sesuai yang pernah dijanjikan oleh Walikota Bogor,” tukasnya penuh harap.