Kecemasan ‘tak berujung’ bagi etnis Hazara di Cisarua

Para pencari suaka beretnis Hazara, di Cisarua, Bogor, Jawa Barat, berduka atas kematian tujuh warga Hazara di Afghanistan, yang diduga dibunuh Taliban.

Mereka tidak tenang karena masih banyak anggota keluarga yang berada di ‘negara konflik’ di Asia Selatan itu.

“Kami syok, mereka (Taliban) memenggal kepala bocah perempuan sembilan tahun,” ungkap Khadim Dai, 19, seorang pemuda Hazara, dalam wawancara melalui telepon dengan BBC Indonesia.

“Di sini (Cisarua) kami memang aman, tetapi secara mental, tidak.”

Meskipun besar di Pakistan, Khadim berasal dari Ghazni, kota di bagian timur Afghanistan, tempat 2.000 orang, Selasa (10/11), berdemonstrasi menentang pembantaian warga Hazara, etnis minoritas di Afghanistan.

Khadim mengaku, meskipun tidak mengenal korban, “Mereka seperti saudara saya. Bisa saja keluarga saya yang dibunuh.”

Kecemasannya kerap tidak terbendung, karena dia dan pencari suaka lainnya di Cisarua, yang berjumlah tidak kurang dari 4.000 orang, selalu menyimak berita terkait Afghanistan dan Hazara, lewat media sosial.

‘Membekas dalam’

Tekanan dan ancaman dari Taliban, telah memaksa Khadim meninggalkan perbatasan Pakistan-Afghanistan, dan mulai mencari suaka, 2013 lalu.

“Waktu itu saya masih 16 tahun. Saya melihat teman saya meninggal karena sekolah kami di-bom Taliban,” tuturnya.

Pergi tanpa keluarga dan terombang-ambing di lautan sekitar satu minggu, Khadim pun akhirnya berlabuh dan menjadi imigran di Indonesia, atas bantuan lembaga PBB untuk pengungsi, UNHCR.

Di Cisarua, bersama teman-teman etnis Hazara, dia membentuk Cisarua Refugee Learning Center. “Inilah cara kami untuk tetap sibuk, supaya tidak terus teringat-ingat keluarga di kampung halaman,” ungkap Khadim.

Di sini, sekitar 80 bocah Hazara, mendapat pendidikan. Salah satunya Zahra Jaffari, bocah 9 tahun, yang membuat gambar tentang serangan-serangan bom di Afghanistan, dan upaya keluarganya meninggalkan negara itu.

“Saya sedih, ketika tahu pengalaman ini sangat membekas di kepala mereka. Apalagi salah satu ‘keluarga’ kami yang baru dibunuh Taliban, seusia dengan Zahra,” kata Khadim.

Hidup tanpa kepastian

Meskipun mereka bisa menetap sementara di Cisarua, tetapi Khadim mengaku dia dan teman-temannya selalu cemas dan ketakutan. “Bagaimana jika tidak ada negara yang mau menerima kami?”

Hingga saat ini, warga Hazara di Jawa Barat, masih menunggu pengumuman UNHCR, terkait negara mana yang mau menerima mereka sebagai warga negaranya. “Kami tidak tahu bagaimana masa depan kami”.

‘Hidup tanpa kepastian’ ini, diklaim Khadim, tidak jauh berbeda dengan apa yang dirasakan teman-temannya di Afghanistan.

Hazara adalah etnis berbahasa Persia, yang hidup di Afghanistan dan Pakistan. Mayoritas mereka adalah penganut Islam Syi’ah.

“Tapi bukan agama alasan kami menjadi target, karena ada juga orang Hazara yang Sunni. Alasannya hanya karena identitas kami saja, karena kami orang Hazara,” aku Khadim.

Kembali ke Afghanistan tidak ada dalam pilihan hidupnya.

“Empat bulan lalu, salah satu teman saya di sini, kembali ke Afghanistan bersama istrinya yang tengah hamil, karena kehabisan uang. Sampai di sana dia diculik, tidak tahu kabarnya hingga sekarang,” tuntas Khadim.

Sumber: BBC Indonesia

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *