Lembaga Studi Sosial dan Agama atau eLSA secara resmi mendapatkan pengesahan akta notaris pada 16 Agustus 2005. Sejarah eLSA sendiri sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari komunitas Justisia, sebuah lembaga penerbitan mahasiswa (LPM) di Fakultas Syari’ah IAIN Walisongo Semarang. Justisia sendiri terbit kali pertama pada tahun 1993.
Sebagai LPM yang berkarya di lingkungan kampus keagamaan, maka produksi gagasan Justisia tentu berputar pada isu-isu keagamaan kritis. Satu hal yang membuat Justisia menjadi agak dekat dengan nuansa kebebasan berpikir adalah karena kebebasan yang diberikan oleh pengelola kepada redaksi jurnal untuk menyuguhkan tema yang tidak terbatas pada wilayah kesyari’ahan. Bisa dikatakan bahwa tema yang ada dalam jurnal, memfasilitasi semua bentuk pemikiran dari berbagai arah. Karenanya tak heran jika di Jurnal Justisia ada berbagai tema yang disodorkan mulai dari isu Multikulturalisme, Kritik Konsep Wahyu, al Qur’an bahkan Kritik terhadap Konsep Ketuhanan.
Justisia juga menjadi perbincangan di kampus IAIN karena selalu menyuguhkan tema-tema yang kontroversial dalam aspek politik. Justisia sudah mulai menunjukan prilaku yang nyleneh pada tahun 1996 ketika keredaksian dipandegani Sumanto Al-Qurtuby. Karena, dianggap telah membocorkan dosa-dosa Orde Baru melalui tema “Prahara Orde Baru”, Justisia diusulkan untuk dibredel oleh pemerintahan orde baru. Para periset pada tema itu terpaksa harus bersembunyi karena dikejar-kejar pihak keamanan.
Tema lain yang dianggap kontroversial dan keluar dari mainstream pemikiran saat Justisia mengangkat tema pembelaan terhadap hak minoritas, yakni kaum homoseksual dan waria pada edisi 25. Tak ayal, apa yang disuarakan oleh Justisia ini ditafsirkan banyak orang dengan mulitversi. Ada yang menganggap bahwa Justisia telah melegalkan homoseksualitas dan menuduh murtad dan kafir para penulisnya.
Tetapi, ada juga pihak-pihak yang menghargai kebebasan berpikir para penulis muda ini dan menganggap apa yang mereka introdusir sebagai bagian dari proses menuju kematangan. Respon yang sama ditunjukan oleh khalayak pembaca saat merespon tema “Gelombang Neo Wahabisme: Arus Deras Gerakan Islam Puritan” pada edisi 28. Tema-tema yang cukup menggelitik itulah yang kemudian menjadikan beberapa kalangan sering menyebut Justisia sebagai antek-antek Barat, Tangan Panjang Penguasa, Jamaah Orientalis, Dangkal Iman dan sebagainya.
Di tengah cercaan tersebut, Justisia tidak bergeming dan mengangap kritik yang dialamatkan kepadanya sebagai satu usulan konstruktif. The World is the marketplace of exchange ideas, begitu kata orang bijak. Karena sudah menjadi pasar, maka silahkan untuk melakukan transaksi memilih dan memilah gagasan yang relevan dan sesuai dengan seting mutakhir masyarakat.
Itu adalah pergulatan Justisia, komunitas yang kemudian menghasilkan eLSA sebagai lembaga. Meskipun begitu, pada perkembangan awal, eLA berusaha untuk membuka diri bagi semua individu yang ingin bergiat di eLSA. Saya mencoba mencoba merunut sejarah kemunculan eLSA, mulai dari pilihan nama, latar belakang kebutuhan akan lembaga, visi dan misi eLSA serta pilihan-pilihan instrumen yang digunakan untuk menjabarkan visi eLSA.
Inisiatif utama pendirian eLSA (Lembaga Studi Sosial dan Agama) lebih banyak didasari atas keinginan untuk mencari ruang untuk bertukar gagasan dalam ruang publik yang terbuka. Ruang demikian hanya mungkin didapatkan melalui satu lembaga independen. Pengembangan diskursus pluralism, demokratisasi, pembelaan hak-hak kelompok minoritas akan menemukan relevansinya dalam ketrbukaan ruang tersebut.
Dasar lain yang menjadi pertimbangan hadirnya eLSA adalah lesunya gairah kajian-kajian ilmiah, khususnya di lingkaran IAIN Semarang (tempat dimana sebagian besar anggota eLSA menimba ilmu) dan di Kota Semarang umumnya. Bersama dengan komunitas lain, eLSA berkeinginan untuk membangun iklim keilmuan yang kondusif. Dengan membubuhkan kata “Studi”, maka mandat awal lembaga ini adalah kelompok kajian.
Dengan latar belakang di atas, tahun 2005 berdirilah eLSA. Hampir semua yang terlibat dalam pendirian eLSA saat itu adalah mahasiswa aktif di IAIN. Namun begitu, dukungan terhadap pendirian lembaga ini datang dari pelbagai kalangan, terutama yang sudah sejak lama memimpikan hadirnya komunitas kajian keagamaan kritis di Semarang. Meski tentu saja tak sedikit yang meragukan eksistensi lembaga ini ke depan, mengingat personel yang duduk di kepengurusan hampir-hampir tak punya pengalaman dalam dunia organisasi masyarakat sipil.
Pengalaman yang dimiliki oleh eLSA hanyalah mengelola diskusi. Itulah yang dimiliki sejak mereka mengelola Lembaga Penerbitan Mahasiswa (LPM) Justisia di Fakultas Syariah IAIN Walisongo Semarang. Dengan bekal itulah mereka menghidupi eLSA. Kajian-kajian keislaman yang terbuka dan kritis terus dikembangkan. Hubungan dengan kelompok lintas agama terus dibina. Tak hanya itu, eLSA mulai menyuarakan ide keislaman yang toleran itu melalui media cetak sembari mengkampanyekannya melalui seminar dan diskusi terbatas.
Tahun 2009, eLSA mulai melakukan regenerasi. Darah-darah baru mulai disuntikan. Ekspektasi untuk mengepakan sayap, mulai direalisasikan. eLSA tidak hanya menjadi komunitas kajian, tetapi juga menjadi lembaga penerbitan. Karya-karya dari para pendiri maupun peneliti di eLSA dipublikasikan dan mulai dinikmati khalayak. Seperti biasa, ada pro dan kontra.
Tahun 2009 pula eLSA melihat ada peluang untuk menjadikan lembaga ini sebagai bank data untuk kasus-kasus keberagamaan di Jawa Tengah. Dengan dukungan dari banyak pihak, baik individu maupun jejaring lembaga, eLSA turut berpartisipasi dalam melakukan pemantauan (monitoring) terhadap kehidupan keberagamaan. Menyadari betapa luasnya spektrum kehidupan keagamaan, eLSA kemudian memfokuskan diri pada kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) sebagai objek monitoring meski tidak meninggalkan pengamatan terhadap situasi keagamaan secara umum. Situs www.elsaonline.com mulai didesain sebagai alat kampanye eLSA melalui jargon voice of the voiceless.
Sebagai lembaga nirlaba, eLSA sedari awal memang bekerja untuk mendiseminasikan gagasan keberagamaan yang inklusif dan toleran, demokrasi, hak sipil, hak kelompok minoritas dan tentu saja penegakan hak asasi manusia. Awalnya lembaga ini menjadikan campaign sebagai medianya. Namun, pada perkembangannya, eLSA juga menjalankan proses investigasi serta monitoring. Data-data yang didapat saat melakukan monitoring itulah yang gilirannya menjadi basis untuk menjalankan proses-proses advokasi. Dengan mengusung jargon “Liberating the Oppressed” eLSA berupaya untuk menjaga ruang publik agar tetap kritis, demokratis dan nirkekerasan. Mempromosikan pemahaman keagamaan yang terbuka, toleran dan moderat adalah usaha yang terus menerus digalakkan. Memperjuangkan hak-hak kelompok minoritas baik minoritas agama, etnis maupun gender adalah asa yang akan selalu menggarami lembaga ini.
Sumber: Laman ELSA