KontraS Soroti Dua Tahun Kompromi Jokowi soal Pelanggaran HAM

Presiden Joko Widodo dinilai tidak memperkuat agenda penegakan hukum dan hak asasi manusia selama dua tahun memimpin indonesia. Kerapuhan mencolok di sektor penuntasan kasus-kasus HAM dimulai ketika Jokowi mengangkat figur yang dianggap bermasalah terkait isu HAM.

Koordinator KontraS Haris Azhar menyebut beberapa nama di antara tokoh yang ia anggap bermasalah soal HAM, yakni Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Jenderal (Purn) Wiranto, Menteri Pertahanan Jenderal (Purn) Ryamizard Ryacudu, Kepala Badan Intelijen Negara Jenderal Budi Gunawan, dan Kepala Badan Intelijen Strategis TNI Mayor Jenderal Hartomo.

Menurut Haris, jauh sebelum pengangkatan tokoh-tokoh itu pun, keterlibatan mantan Kepala BIN AM Hendropriyono dalam tim pemenangan Jokowi pada kampanye Pemilu 2014 menunjukkan bahwa sejak awal Jokowi telah membangun kompromi dengan para pelaku pelanggaran HAM.

“Aktor-aktor itu harus diganti lebih dulu. Kalau aktornya tidak akuntabel, tidak bisa dipertanggungjawabkan, maka ini tidak akan menjawab masalah dan tidak bisa melakukan penegakan hukum sebagaimana seharusnya,” kata Haris di kantor Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Jakarta Pusat, Kamis (20/10).

Wiranto dikritik banyak aktivis terkait kasus pelanggaran HAM di Timor Timur pada 1999. Berdasarkan penyelidikan Komnas HAM, Wiranto memegang tanggung jawab tertinggi atas masalah keamanan usai pengumuman referendum di Timor Timur saat itu.

Pada 2004, Pengadilan Timor Leste mengeluarkan surat perintah penangkapan bagi Wiranto atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan seputar referendum Timor Timur.

Meski demikian, kini sebagai menteri, Wiranto berjanji akan menyelesaikan kasus dugaan pelanggaran HAM masa lalu. Saat serah terima jabatan Menko Polhukam, dia menyatakan akan menuntaskan masalah-masalah itu secara adil, transparan, bermartabat, namun dengan tidak merugikan kepentingan nasional.

“Saya akan selesaikan, saya jamin. Masalah HAM masa lalu yang sudah tercatat untuk diselesaikan, kami selesaikan,” ujar Wiranto, September lalu.

Sementara nama Hendropriyono terbawa-bawa dalam kasus pembunuhan aktivis HAM Munir Said Thalib, setelah dokumen penyelidikan Tim Pencari Fakta kasus Munir menyebut ada keterlibatan BIN dalam persoalan tersebut. Saat itu Hendropriyono menjabat sebagai Kepala BIN. Namun jenderal purnawirawan TNI Angkatan Darat itu membantah terlibat.

Hendropriyono juga diduga terlibat dalam Peristiwa Talangsari di Lampung tahun 1989 yang menewaskan 27 orang. Terkait kasus ini, jurnalis investigasi asal Amerika Serikat Allan Nairn pernah mendatangi Polda Metro Jaya pada Februari 2015 untuk menjadi saksi.

Allan Nairn pernah mewawancarai Hendropriyono soal peristiwa Talangsari, dan dia sempat merilis rekaman itu. Dalam wawancara tersebut, Hendropriyono menyebut warga Talangsari mati karena bunuh diri dengan cara membakar rumah mereka sendiri. Dia membantah terlibat.

KontraS menilai, kepemimpinan Jokowi tidak dibantu figur yang kapabel di bidang penegakan hukum dan HAM. Padahal, menurutnya, akuntabilitas para pembantu presiden adalah penting.

Dalam banyak kasus, kata Haris, ia melihat kejahatan di bidang hukum dan HAM justru banyak dilakukan oleh aktor negara. Ia pun menganggap Jaksa Agung Muhammad Prasetyo menghambat penyelesaian kasus pelanggaran berat HAM masa lalu.

“Ke depan, pemulihan hukum harus dilakukan dari negara sendiri. Jaksa Agung harus segera diganti,” katanya.

Jaksa Agung Prasetyo sendiri dituding melanggar HAM karena melakukan eksekusi mati, sementara para terpidana yang dieksekusi mati jilid III masih mengajukan grasi. Prasetyo dilaporkan ke Komnas HAM atas proses eksekusi itu.

Sesuai Pasal 3 dan 13 Undang-Undang 22 Tahun 2002 dan UU 5 Tahun 2010 tentang Grasi, terpidana mati yang sedang mengajukan grasi tidak boleh dieksekusi. Oleh karena itu, proses eksekusi pada Juli lalu itu dianggap tidak sah atau ilegal.

Simbolik belaka

KontraS menganggap penegakan hukum selama ini hanya dilakukan secara simbolik. Dalam beberapa kasus, orang yang diadili hanya lapisan bawah. Lembaga penegak hukum tidak mencari aktor yang harus bertanggung jawab atas kasus-kasus tersebut.

Implikasi dari penegakan hukum yang sekadar simbolik itu, kata Haris, adalah penumpukan terpidana sehingga lembaga pemasyarakatan kelebihan kapasitas.

“Mau programnya bagus seperti apapun, kalau orang-orangnya, petugas pembantu presiden seperti itu, tidak akan jalan agendanya,” ujar Haris.

Wakil Koordinator KontraS, Puri Kencana Putri, menganggap Presiden tidak pernah membangun ruang untuk mengoreksi kerja para pembantunya di Kabinet Kerja. Dia mencontohkan, Ryamizard pernah mempromosikan diskriminasi dan antikesetaraan, namun Presiden mengabaikannya.

“Rantai diskriminasi ternyata dipelopori oleh presiden sendiri,” tuding Puri.

Ryamizard pada Februari sempat mengatakan fenomena kemunculan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) sebagai bagian dari proxy war atau perang proksi oleh asing untuk menguasai bangsa Indonesia.

“(LGBT) bahaya dong, kita tak bisa melihat (lawan), tahu-tahu dicuci otaknya. Ingin merdeka segala macam, itu bahaya,” ujar sang Menhan.

Pernyataan Ryamizard itu dianggap mempromosikan sikap diskriminasi terhadap kelompok minoritas di Indonesia. Selain dia, sejumlah pejabat negara juga memiliki pandangan serupa dalam menyikapi LGBT.

KontraS berpendapat, salah satu kelemahan signifikan dari pemerintahan Jokowi adalah kemampuan Jokowi memaknai mekanisme akuntabilitas dalam pengelolaan birokrasi. Kelemahan ini berdampak pada agenda pemajuan hukum dan HAM.

Menurut Puri, selama ini pemerintah tidak banyak menjawab masalah yang muncul di tengah masyarakat. Jokowi, kata dia, justru merespons persoalan itu dengan cara mengganti pembantunya dengan orang yang memiliki catatan buruk di masa lalu.

“Solusi dia mengganti personel tidak menjawab akar permasalahan,” katanya. “Bahkan dia mengganti personel yang jelas-jelas punya masalah hukum. Seperti Hartomo, dalam dokumen negara, dia sudah dipecat dari posisinya.”

Penunjukan Mayjen Hartomo sebagai Kepala BAIS dinilai cacat hukum karena Hartomo pernah dipecat dari dinas militer oleh Mahkamah Militer Tinggi III Surabaya terkait kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay, ketua dewan adat Papua. Pada 2003, Hartomo dijatuhi hukuman tiga tahun enam bulan penjara.

Saat itu Hartomo masih berpangkat letnan kolonel. Dia bertugas sebagai Komandan Satuan Tugas Tribuana X di Komando Pasukan Khusus TNI AD. Namun begitu bebas, Hartomo malah memperoleh promosi jabatan dan pangkat. Sebelum menjadi Kepala BAIS, dia sempat menjabat sebagai Gubernur Akademi Militer di Magelang.

Pekan ini Kantor Staf Presiden menerbitkan laporan setebal 72 halaman bertajuk Dua Tahun Kerja Nyata Jokowi-JK. Namun penyelesaian dugaan pelanggaran HAM tidak tercantum dalam tiga fokus utama dan delapan topik khusus di dalamnya.

Padahal pada dokumen Nawacita, Jokowi-JK berjanji untuk menuntaskan kasus HAM yang hingga saat ini terus menjadi beban sosial-politik bangsa. Dalam draf target kerja yang disusun sebelum Jokowi dilantik menjadi presiden itu, disebut sejumlah kasus yang dijanjikan untuk diselesaikan, yaitu Kerusuhan Mei, Trisakti, Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, serta Tragedi 1965.

Jurang antara janji dan realita itu membuat KontraS menyimpulkan, selama dua tahun kepemimpinan Jokowi, Indonesia tak bergerak di bidang penuntasan kasus hak asasi manusia.

Sumber: CNN

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *