Aspertina: Peranakan Bukan Lagi Hanya Keturunan Campuran

Banyak orang menganggap bahwa peranakan hanya berarti keturunan anak negeri dengan orang asing. Akan tetapi, komunitas peranakan Tionghoa menganggap pemahaman tersebut sudah ketinggalan zaman.

Ketua Asosiasi Peranakan Tionghoa Indonesia atau Aspertina, Andrew A Susanto, mengatakan peranakan saat ini bukan lagi karena darah, melainkan karena budaya.

“Kami melihat peranakan bukan lagi soal keturunan darah, namun sudah berbicara soal budaya,” kata Andrew saat ditemui CNNIndonesia.com, beberapa waktu lalu.

“Budaya peranakan adalah budaya unik yang ada di Nusantara. Ini hasil dari akulturasi atau pencampuran budaya Tiongkok, budaya lokal Nusantara, dan budaya Eropa.”

Andrew menuturkan, peranakan Tionghoa berasal dari para pekerja kasar yang merantau dari China ke Nusantara ratusan tahun lalu.

Para pekerja yang kebanyakan laki-laki itu kemudian menikah dengan wanita pribumi dan menghasilkan keturunan campuran pertama.

Menurut Andrew, seiring dengan penjajahan Belanda di Nusantara, perkembangan peranakan Tionghoa juga dipengaruhi budaya dari Eropa.

“Akhirnya menghasilkan budaya peranakan yang sangat eksotis dan unik,” ujarnya.

Budaya peranakan itu masih bertahan hingga kini dan mencakup banyak hal mulai dari kuliner, busana, tradisi, hingga arsitektur.

Dan menurut Andrew, budaya peranakan Tionghoa di Indonesia berbeda dengan sang leluhur di China daratan. Meskipun, peranakan Tionghoa di Indonesia masih mengikuti kepercayaan yang sama dengan leluhur.

Misalnya seperti pada perayaan besar seperti Imlek atau Cap Go Meh. Masyarakat peranakan Tionghoa di Indonesia mengonsumsi makanan perayaan yang berbeda dengan di China.

“Misalnya lontong Cap Go Meh, itu adalah budaya kuliner yang tidak sama dengan yang ada di China. Hanya khas Nusantara,”

Menurut Andrew, bukti lain peleburan budaya peranakan Tionghoa adalah keberadaan kebaya encim. Kebaya tersebut muncul karena ada sentuhan kebaya lokal yang dipengaruhi Tiongkok dan Eropa.

Dari kebaya encim, unsur China dapat terlihat dari keberadaan bunga peony yang berasal dari Negara Tirai Bambu. Sedangkan unsur Eropa terlihat dari pemilihan putih sebagai warna umum kebaya encim, ini bertentangan dengan kepercayaan Tionghoa bahwa putih melambangkan kedukaan.

“Kalau Tionghoa asli kemungkinan enggak akan pake warna putih dengan motif Tiongkok. Tapi kalau peranakan dipakai,” kata Andrew.

Motif khas Tionghoa juga dapat ditemukan pada kain nusantara, biasanya memiliki warna cerah dengan motif seperti burung hongla, naga, dan kura-kura.

Karena berbaur dengan budaya lokal, budaya peranakan yang ada di Indonesia bisa jadi berbeda satu daerah dengan lainnya. Semua tergantung kondisi geografis dan budaya setempat.

“Namun bagi saya, yang menyatukan Indonesia adalah budaya-budaya leluhur dan keberagaman Indonesia,” kata Andrew.

“Kami berharap masyarakat dapat terus tumbuh di masa depan tanpa melupakan budaya luhur lokal yang ada di Indonesia. Suka tidak suka, budaya itu melekat pada masyarakat dan tergantung kepada masyakat lestari atau tidaknya budaya itu.”

Sumber: CNN Indonesia

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *