Wayang Orang Indonesia Pusaka (WOIP); Lestarikan Seni Jawa Lewat Pementasan Wayang Orang

Berdasar pada kecintaan pada budaya Jawa, khususnya kesenian wayang orang, pengusaha Jaya Suprana dan belahan jiwanya, Aylawati Sarwono, membentuk komunitas Wayang Orang Indonesia Pusaka (WOIP) pada tahun 2010. Sebagai penari dan pemerhati budaya Jawa, Aylawati melihat  makin berkurangnya rasa kecintaan orang Indonesia, terutama kaum muda, pada kesenian wayang orang.

Maka, pasangan ini pun mulai aktif menyampaikan gagasan mereka untuk melestarikan wayang orang. Gayung bersambut. Ternyata, di tengah kesibukan dan padatnya jadwal kegiatan, masih ada segelintir orang yang tertarik untuk belajar dan bermain dalam wayang orang. Mereka lalu berkumpul dan mulai rutin berlatih  tari Jawa yang merupakan bagian dari keahlian yang harus dimiliki untuk bermain wayang orang.

“Mereka ini berasal dari berbagai kalangan. Ada yang pengusaha, mereka yang menekuni seni tari Jawa sejak kecil, ibu rumah tangga yang aktif di berbagai kegiatan sosial, desainer, hingga selebritas. Asal-usul suku mereka pun tak hanya Jawa, tapi ada yang dari Cina, Sunda, Padang, hingga Aceh,” jelas Aylawati. Hingga saat ini tercatat sekitar 30-an orang yang aktif bergabung  bersama komunitas WOIP.

Awalnya, kegiatan mereka sekadar berlatih tari bersama atau menonton berbagai pertunjukan seni wayang orang bersama. Kemudian, kegiatan ini terus meluas seiring dengan  makin besarnya niat mereka untuk melestarikan budaya Jawa. “Intinya, komunitas kami ini adalah wadah bagi siapa pun yang cinta kesenian Jawa. Lebih dari sekadar ingin menyalurkan hobi menari, kami juga memiliki semangat untuk memperkenalkan wayang orang lewat pementasan, baik di dalam maupun di luar negeri,” jelas Aylawati.

Selama ini, kesenian wayang orang terkesan menyandang image sebagai pertunjukan yang kurang bergengsi, sehingga menurunkan gengsi untuk menontonnya. Akibatnya, Aylawati melihat,  makin sedikit dan terbatas orang yang menyukai pertunjukan wayang orang. Hal inilah yang ingin didobrak oleh komunitas ini. Salah satu caranya adalah dengan menghadirkan pertunjukan wayang orang yang lebih berkonsep dipadu dengan teknologi serta tata panggung yang berkualitas.

Namun, bisa menampilkan sebuah pertunjukan wayang orang yang baik tentu bukan hal yang mudah bagi anggota WOIP yang datang dari berbagai latar belakang profesi ini. Maka, ketika mereka mendapatkan kesempatan untuk pentas, anggota WOIP berkolaborasi dengan para pemain wayang orang profesional, seperti dari paguyuban Bharata atau RRI Solo.

Kehadiran  pemain wayang orang profesional ini tentu saja memberikan tantangan lebih pada para anggota WOIP karena mereka harus berlatih cukup keras agar penampilan mereka bisa sejalan dengan para pemain kunci. Hasilnya, cukup membanggakan dan mereka  juga percaya diri untuk membawa pentas wayang orang tidak hanya di dalam negeri, tapi hingga mancanegara.

Setelah pernah tampil di Sydney Opera House (2010) dan Unesco Paris (2012) dalam pertunjukan wayang orang Banjaran Gatot Kaca, tahun lalu WOIP menampilkan pertunjukan wayang orang berjudul Arjuna Galau dan Wayang Bocah di panggung Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki (TIM). Pertunjukan ini pun mampu menyedot hingga lebih dari 1.200 penonton.

Salah satu sosialita, Yessy Sutiyoso, putri mantan Gubernur Jakarta, pernah berperan sebagai Putri Sembrodo yang lemah lembut. Yessy mengaku amat menyukai wayang orang yang merupakan gabungan seni tari, seni peran, dan seni musik, serta sarat akan filosofi hidup. Wanita yang senang menari sejak SMP ini tak merasa canggung saat harus menari di pentas wayang orang. “Kesulitannya hanya kalau harus nembang dalam bahasa Jawa halus yang terkadang tak mengerti artinya,” kata Yessy, yang ikut pentas bersama komunitas WOIP di Puri Sriwedari Solo, Istana Negara, hingga Sydney Opera House (Australia).

Jika akan menggelar pentas akbar, komunitas ini biasanya latihan lebih intens hingga 2-3 kali seminggu, sebulan menjelang pertunjukan. Selain latihan tari, mereka juga belajar akting, nembang, menghafalkan koreografi dan dialog, hingga melakukan adegan akrobat. “Karena semua anggota komunitas pencinta budaya Jawa, mereka biasanya masing-masing punya koleksi kostum sendiri sehingga masalah pengadaan kostum untuk pentas tak pernah jadi kendala,” jelas Aylawati. 

Sumber: FEMINA (Reynette Fausto)

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *