Wildlife Rescue Center (WRC): Bantu Satwa Liar Kembali Ke Habitat Mereka

Banyak warga yang nekat memelihara satwa liar di rumah tidak peduli tentang konsekuensi yang harus dipikul satwa tersebut seumur hidupnya, seperti kemungkinan bahwa mereka tak dapat lagi pulang ke “rumah”. Wildlife Rescue Center hadir membantu satwa-satwa liar yang menjadi korban, untuk kembali ke habitat dan jati diri mereka.

Wildlife Rescue Center (WRC) adalah sebuah project di bawah Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta (YKAY) yang didirikan pada 2010. Organisasi non-pemerintah yang dulunya lebih dikenal dengan nama PPSJ (Pusat Penyelamatan Satwa Jogja) ini memiliki aktivitas utama yakni merehabilitasi dan merawat satwa-satwa liar hasil sitaan negara.

“Satwa liar yang masuk ke kami adalah satwa liar yang secara hukum tidak boleh dipelihara, diperdagangkan, baik secara utuh ataupun mati, ataupun bagian-bagiannya,” kata Rosalia Setiawati, Bendahara Yayasan Konservasi Alam Yogyakarta (3/9).

Akun Instagram WRC @wrcjogja memberikan informasi terbaru seputar kegiatan utama WRC yakni perkembangan satwa pasca rehabilitasi dan proses pelepasliaran satwa.
Wildlife Rescue Center memiliki sejumlah program rutin untuk mendukung pendanaan mereka, antara lain Animal Care dan Volunteer. “Animal Care itu program edukasi tentang satwa liar. Kami akan membagi suatu rombongan menjadi beberapa kelompok, kemudian kami ajak mereka berkeliling sambil kami jelaskan tentang tiap satwa,” ujar Lingga, Bendahara Wildlife Rescue Center (13/9).

Program Volunteer adalah program wisata minat khusus berbayar selama satu minggu yang memfasiltasi pesertanya untuk merasakan kehidupan animal keeper, mulai dari membersihkan kandang hingga membuang kotoran satwa.

Animal Keeper dikenai hands-off policy, yakni larangan menyentuh hewan-hewan di WRC secara langsung, kecuali dengan alasan tertentu seperti alasan kesehatan. Metode pemberian makan satwa dilakukan melalui kotak, sela-sela kandang, atau bagian atas kandang (13/9).
Hingga saat ini, site WRC di kawasan Pengasih, Kulon Progo, menampung sebanyak 173 ekor satwa liar yang terdiri atas berbagai jenis primata, elang & kasuari, hingga reptil seperti buaya dan ular. Latar belakang satwa-satwa tersebut umumnya berasal dari perdagangan liar atau hewan yang dipelihara sejak kecil. “Kami menerima sitaan dari BKSDA Bantul & Yogyakarta, Mabes Polri, dan NGO yang bergerak di law enforcement,” kata Rosa (3/9).

Menurut Rosa, banyak dari pemelihara sebetulnya belum paham aturan perundangan mengenai konservasi satwa. Pada akhirnya, mereka kerepotan setelah satwa-satwa liar itu bertumbuh dewasa kemudian menyerahkannya ke WRC. Rosa menyayangkan praktik-praktik tersebut karena banyak dari satwa-satwa itu harus dipisahkan dari orangtuanya semenjak bayi, bahkan besar kemungkinan sang induk terbunuh dalam prosesnya.

“Pemelihara satwa liar tidak memikirkan kerugian ekologis dan kerugian secara spesies. Mereka mengaku cinta satwa namun sebenarnya justru penyiksa satwa,” ujar Rosa.

Rosa menambahkan, dampak yang dirasakan satwa-satwa liar yang pernah diperdagangkan maupun dipelihara sangat signifikan terhadap kelangsungan hidup mereka.

“Pertama, mempercepat kepunahan. Ketika pemburu mengambil orangutan, berarti ada hewan lain juga yang menjadi korban. Kedua, penyimpangan perilaku. Bagi spesies apapun, yang paling bisa merawat dengan baik adalah induknya. Contohnya orangutan, ketika dia dari kecil sudah dengan manusia dan tidak segera diselamatkan, dia tidak akan bisa lagi kembali ke hutan karena dia nggak tahu caranya jadi orangutan,” kata Rosa.

Beni adalah salah satu residen di Wildlife Rescue Center. Ia merupakan satwa sitaan dari minizoo ilegal di Salatiga. Usia yang terlalu tua ditambah trauma psikologis yang parah hingga tak bisa melakukan kontak mata menyebabkan Beni tak dapat kembali dilepasliarkan (13/9).
Merehabilitasi satwa-satwa yang terlanjur memiliki trauma fisik maupun psikologis bukanlah proses yang singkat. “Ketika masuk pertama kali ke WRC, satwa dicek fisiknya di klinik. Selanjutnya, satwa dimasukkan ke ruang karantina dan diobservasi minimal 3 minggu untuk mengetahui gejala penyakit yang belum muncul ketika satwa itu datang. Selama observasi, kami ambil darah dan cek penyakit. Bila terbukti sehat baru dipindahkan ke kandang-kandang display,” ungkap Randy Kusuma, dokter hewan sekaligus manajer bagian Konservasi di WRC (13/9).

Permasalahan umumnya muncul ketika meninjau latar belakang satwa dan menemukan kebiasaan-kebiasaan manusia yang terlanjur diajarkan kepadanya. “Pernah ada orangutan yang terbiasa makan nasi putih, kecap manis, minumnya susu dan teh. Itu nggak bisa serta merta langsung dikasih buah dan sayur. Yang bisa kita lakukan adalah memberikan makanan dan minumannya yang biasa. Selanjutnya baru mulai dikenalkan sedikit-sedikit, porsi nasinya dikurangi sampai dia bisa nggak makan nasi sama sekali,” kata Rosa.

Setelah berhasil dipulihkan dari trauma, satwa liar pun tak langsung dilepasliarkan ke alam. “Selain kesiapan satwa secara kesehatan dan tingkah laku, perlu dilihat juga kesiapan habitat yang terproteksi, misalnya ketersediaan pakan dan lokasinya jauh dari gangguan manusia,” ujar Drh. Randy Kusuma. WRC menargetkan peningkatan translokasi (pemindahan satwa ke Rescue Center lain yang sesuai habitat aslinya) & rilis (pelepasliaran) di tahun-tahun mendatang.

WRC berkomitmen untuk turut andil dalam menghentikan perdagangan dan kepemilikan satwa liar. “Kalau tidak ada permintaan, tidak akan ada penawaran. Kuncinya adalah menyadarkan masyarakat, didukung oleh penegakan hukum yang memberikan efek jera,” pungkas Rosa.

Sumber: WARGA JOGJA (Namira Putri)

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *