Rumah Baca Lembah Sibayak, Membangunkan Anak-anak di Tanah Karo dari “Tidur”

Tanah Karo adalah wajah kebhinekaan yang terbingkai dalam indah taman persada. Dari Bumi Turang, satu rumpun entitas budaya bangsa Karo nan luhur bertemu hulu. Mereka yang mewarisi darah Karo berkelana ke segala penjuru, menjadi rahim bagi warna-warni kehidupan sosial masyarakat Sumatera Utara. Kabupaten Karo adalah wilayah dataran tinggi yang dikepung oleh dua gunung api aktif, Sinabung dan Sibayak. Daerah ini selalu terasa sejuk karena berada pada ketinggian 800-1400 meter di atas permukaan laut. Tanah di Kabupaten Karo juga sangat gembur. Tak ayal, kawasan ini tersohor sebagai pemasok komoditi pertanian unggulan di seantero negeri.

Hidup dimanja oleh bentang alam dataran tinggi Karo adalah anugerah bagi masyarakat setempat. Namun serupa gunung yang tercitra indah dari kejauhan, banyak ngarai terjal permasalahan sosial terpampang ketika melihat Karo jauh lebih dalam. Salah satu permasalahan yang dihadapi masyarakat Karo, terutama di kawasan Lembah Sibayak adalah degradasi moral. Tingkat pendidikan dan minat baca yang rendah ditengarai menjadi penyebab merosotnya nilai karakter para generasi milenial. Berangkat dari keprihatinan akan kondisi tersebut, seorang pemuda asal Kota Medan, Ahmad Azhari (37) tergerak untuk melakukan perubahan. Berafiliasi dengan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Sources of Indonesia (SoI), pegiat yang karib disapa Ari tersebut menginisiasi sebuah rumah baca yang dia beri nama Rumah Baca Lembah Sibayak (RBLS)

Tak ada PAUD

Ari menceritakan, awal mula munculnya gagasan untuk mendirikan RBLS yakni saat dirinya beserta relawan SoI melakukan asesmen di kawasan Lembah Sibayak, yakni Desa Semangat Gunung (300 KK), Kecamatan Merdeka dan Desa Doulu (500 KK), Kecamatan Berastagi. “Saat itu saya melihat banyak anak yang bermain liar di lokasi di perladangan dengan minim pengawasan dari orangtua, bermainnya cenderung liar dan negatif,” katanya. Di Lembah Sibayak, terdapat dua Sekolah Dasar (SD) yang berada di Desa Doulu. Namun secara fasilitas pendukung pendidikan, dua sekolah tersebut belumlah memadai.

Sementara itu, untuk melanjutkan pendidikan di tingkat SMP dan SMA, tidak ada pilihan lain bagi anak-anak Lembah Sibayak selain berangkat ke Berastagi atau Kabanjahe yang merupakan ibukota Kabupaten Karo. Tidak adanya sekolah PAUD dan sekolah Taman Kanak-kanak (TK) adalah salah satu kendala bagi anak-anak Lembah Sibayak untuk mengenal pendidikan prasekolah. Padahal, lanjut Ari, pendidikan prasekolah adalah kesempatan emas bagi anak untuk mengenal huruf dan angka. “Anak-anak Lembah Sibayak kebanyakan tidak mengenyam bangku TK atau PAUD, sedangkan saat mereka masuk SD, mereka dituntut oleh kurikulum untuk sudah menguasai baca, tulis dan hitung (calistung),” katanya. “Anak-anak yang memiliki kendala akademik khususnya membaca ini akhirnya putus sekolah karena malu belum lancar calistung,” lanjutnya kemudian.

Selama hampir dua tahun, SoI bergerak merekrut anak-anak Lembah Sibayak melalui kelompok bermain. Semua kegiatan dilakukan di luar ruangan dengan menggunakan media belajar yang beragam. Kelompok bermain inilah yang menjadi embrio komunitas rumah baca yang berdiri pada 5 Juni 2017 tersebut. “Karena saat itu Gunung Sinabung sedang erupsi sehingga anak-anak membutuhkan sebuah rumah sekretariat agar tidak terpapar bahaya abu vulkanik,” tutur Ari yang merupakan Sarjana Pertanian Universitas Pembangunan Masyarakat Indonesia. Pada akhirnya, Ari berkomunikasi sekaligus meminta izin masyarakat untuk mengumpulkan anak-anak di jambur (aula) desa. Ari dan relawan membawa 70 buku koleksinya untuk dibaca oleh anak-anak-anak di dalam jambur. Inilah yang menjadi cikal bakal Rumah Baca Lembah Sibayak.

Menanti-nanti buku

Halimun lembut mengepung sepotong pagi di pamah lembah Gunung Sibayak. Dingin udara yang menggigit kulit tak menyurutkan semangat anak-anak di Desa Doulu untuk berkumpul di jambur desa, Minggu (26/8/2018) pagi. Mereka menanti kedatangan relawan Rumah Baca Lembah Sibayak yang setiap akhir pekan selalu datang untuk mengajak anak-anak kampung membaca buku ramai-ramai. Tidak lama kemudian, Ari datang menggunakan sepeda motor. Dua keranjang penuh buku terikat di jok belakang. Satu per satu berebut salam dengan sang kakak yang akan menemani mereka belajar membaca hingga nanti siang.

Baca buku ramai-ramai (Babura) merupakan program pustaka keliling yang digiatkan oleh rumah baca ini untuk menjangkau kampung-kampung terpencil di Lembah Sibayak. Kegiatan Babura dilakukan rutin tiga kali dalam seminggu di tiga jambur berbeda. “Jika jambur sedang digunakan untuk kegiatan masyarakat, maka kami memanfaatkan pekarangan rumah warga atau lapangan sebagai tempat pengganti,” kata Ari yang memiliki usaha budidaya lebah madu itu.

Ari menuturkan, selain Babura, RBLS juga memiliki berbagai program seperti pos baca, visual literas, project surat dan kartu pos, project mebel, RBLS art, RBLS culture, RBLS english dan RBLS computer. Bahkan, untuk melatih fungsi motorik anak, RBLS juga menggelar program senam sehat dan pelatihan soft skill. “Visual literasi adalah sebuah program belajar memahami tentang ilmu dan pengetahuan di alam  terbuka. Dengan membawa anak untuk melihat secara langsung apa yang dipelajari, akan membuat mereka lebih mudah memahami hal tersebut,” ungkapnya.

Melestarikan budaya

Tanah Karo dapat diibaratkan sebagai supermarket budaya yang wajib dilestarikan oleh generasi penerus. Kearifan lokal bangsa Karo tak hanya berbentuk adat istiadat, namun juga kuliner, bahasa dan tata aksara, seni musik, tari hingga seni kriya. RBLS dalam hal ini juga mengambil peran sebagai penjaga gawang lestarinya budaya suku Karo. Melalui program RBLS culture, Ari dkk mencoba menggali budaya bangsa yang diwariskan oleh leluhur dan mengenalkannya kepada anak-anak binaan.

“Program ini diikuti oleh lima orang relawan yang membentuk kelompok seni. Mereka kemudian mengajarkan seni tradisional Karo kepada anak-anak. Saat ini kelompok seni RBLS telah beberapa kali tampil di panggung pertunjukan seperti Festival Budaya Karo, Festival Film Anak Medan, dan lain-lain,” katanya. Untuk mengasah otak kanan meraka, RBLS juga memfasilitasi anak-anak untuk belajar melukis. Hasil lukisan anak-anak ini kemudian dijual kepada masyarakat umum melalui media sosial. Uang hasil penjualan digunakan untuk biaya operasional RBLS serta membiayai kegiatan RBLS art di bulan berikutnya.

“Atas bantuan sejumlah filantropis dari Singapura, anak-anak juga dilibatkan dalam proses pembuatan meja belajar terutama dalam mewarnai atau menggambar meja-meja mungil tersebut. Sebanyak 85 meja belajar yang dilukis sendiri oleh anak-anak dan dibagikan secara gratis agar mereka semakin semangat belajar,” ujarnya. Menjawab masa depan Arus globalisasi yang sangat pesat membuat kemajuan digital makin tak terbendung. Teknologi informasi yang ada sekarang pun semakin mempermudah pintu interaksi.

Komunikasi dewasa ini hampir tanpa sekat, tak terhalang jarak, bahkan lintas negara. “Kami sadar arus globalisasi akan menggiring kita kepada persaingan terbuka, untuk itu kami memberikan pelatihan dasar komputer dan bahasa inggris kepada anak-anak agar mereka dapat menjadi agen-agen perubahan yang memilki wawasan global namun tetap berbudaya lokal,” katanya.

Pada akhirnya, proses memang tak pernah berdusta. Hanya dalam kurun waktu satu tahun, RBLS telah memiliki sekretariat tetap di jalan raya menuju obyek wisata pemandian air panas Sidebuk Debuk. Di rumah itu, 150 anak didik yang tersebar dari penjuru Lembah Sibayak menggantungkan harapan. Bersama para relawan pejuang literasi, yakni Ira br Ginting, Sekar Ayu, Renta Nababan, Laksana Ginting, Maradona Sembiring, Hermonsyah Barus, Hena Br Barus, Sinsy br Ginting, Agustana Sembiring, Hasmiah Br Tarigan, Andriana br Sembiring, Heri Barus dan Pendi Ginting.

Kerelaan dan kerja keras mereka telah membawa Rumah Baca Lembah Sibayak menjadi salah satu pemenang dalam ajang Gramedia Reading Community Competion (GRCC) 2018. “Kami berharap semangat literasi yang diberikan kepada anak-anak dapat mencetak generasi penerus yang berkulaitas. Merekalah yang akan memutus rantai kesenjangan sosial dan menjadi agen-agen penata nilai masyarakat kelak,” pungkasnya.

Sumber :Kompas
Penulis : Kontributor Purwokerto, M Iqbal Fahmi
Editor : Caroline Damanik

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *