Culturnade, Komunitas Suporter Arema yang Kini Bermusik di Medan

Sebagian besar band atau grup musik terlahir di daerah asal yang kemudian mencoba peruntungan di luar kota. Namun, berbeda dengan grup musik Culturenade yang digagas oleh dua mekanik yang saat ini bekerja dalam proyek Podomoro Medan.

Culternade berdiri tidak serta merta langsung berbentuk grup musik melainkan mengalami transisi yang agak berkelok.

Pengagas Culturenade, Ari mengungkapkan bahwa Culternade ini awalnya berbentuk komunitas pendukung Arema Malang. Namun karena ia dimutasi ke Medan pada pertengahan 2018, akhirnya Culturenade ini vakum sebagai komunitas pencinta Arema Malang.

“Pada awalnya, Culturnade tidak terpikir untuk buat project musik. Awalnya itu kami suporter Arema Malang, kemudian saya dipindahkan kesini. Bingung mau ngapain di Kota Medan, tidak ada kegiatan. Sempat juga masuk ke ranah clothing pakaian, project penerbitan, dan curahan quotes,” ungkapnya, Rabu (19/2/2020).

Culturenade ini terdiri dari dua kata yaitu Culture dan Nade. Culture sendiri bermakna budaya dan Nade merupakan bahasa tongkrongan anak Solo yang suka di balik dengan makna edan. Jadi menurut Ari, Culturenade ini sebagai budaya yang gila.

Ari tidak sendiri dalam merintis Culternade. Bersama Sigit, ia membangun Culturenade di tahun 2018. Ari sebagai vokalis dan Sigit yang bermain gitar.

Sigit menceritakan bahwa bergabung ke Culturnade karena tertarik dan rindu untuk bermusik selama di perantauan. Ia berasal dari Malang dan sudah dua tahun berdomisili di Medan.

“Dulunya saya juga bermusik sama dengan Ari tapi aliran reggae di Semarang. Sempat mau naik daun namun kemudian ada konflik dan pada akhirnya disitu saya berkeinginan ingin bekerja. Kenal sama bang Ari awalnya tidak tahu kalau dia suka musik juga. Akhirnya bergabung ke culturnade karena tertarik. Kita berdiskusi mengenai bagaimana kalau buat band mengenai keresahan di medan,” tutur Sigit.

Sigit dan Ari memiliki adalah mekanik di Mal Podomoro.

Ia menjelaskan bahwa pekerjaan mereka yang cukup menyita tenaga ini tidak menghalangi mereka dalam berkarya khususnya dalam bidang bermusik.

“Kita cari inspirasi lagu itu pada saat dini hari. Karena menurutku tidur cepat itu buang waktu. Jadi sampai sekarang budaya itu aku bawa hingga ke Medan, paling tidur itu 3-4 jam saja. Di waktu seperti itulah aku luangkan waktu untuk mencari inspirasi lagu,” ujar Ari.

Teman-teman Ari dan Sigit di Podomoro awalnya tidak tahu dan tidak menyangka bahwa rekan kerja mereka memiliki jiwa seni yang akhirnya membentuk grup musik.

Bermusik di Malang dan Medan menurut Ari memiliki perbedaan dalam hal fasilitas. Ia menceritakan bahwa di Malang, pemerintah sangat memperhatikan seniman musik lokal untuk berapresiasi.

“Pernah teman saya buat musik stasiun di Jawa, kemudian ada Walikota lewat dan menanyakan mengenai wadah itu dan malah akhirnya di-support dan wadah bertambah menjadi tiga yaitu Musik Stasiun, Musik Alun-alun, dan Musik Jatim Park yang dapat digunakan oleh setiap pengunjung untuk berapresiasi,” kata Ari.

Melihat hal tersebut, Ari berharap bahwa kedepannya pemerintah dapat lebih memperhatikan dan mengapresiasi musisi lokal sama halnya dengan musisi di daerah Jawa yang disambut baik oleh pemerintahnya.

“Harapannya sih semoga kedepannya diperbanyak ruang apresiasi seperti disediakan tempat dan kemudian juga alat-alatnya karena enggak semua anak-anak punya alatnya pribadi dan kalau bisa buat agenda rutin untuk berkesenian,” harap Ari.

Artikel ini telah tayang di Tribun Medan
Penulis: Kartika Sari
Editor: Liston Damanik

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *