IDI Tolak Lakukan Imunisasi, Menkes: Masih Banyak Dokter Lain

Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menolak melakukan imunisasi kepada anak menyusul adanya kasus vaksin palsu. IDI menilai perkara ini memojokkan profesi dokter.

Seperti diketahui, dari 23 tersangka memang beberapa di antaranya merupakan dokter. Menkes Nila F Moeloek menyebut kasus vaksin palsu merupakan tindak kriminal yang bukan mengatasnamakan profesi.

“Saya nggak tahu ya, saya nggak bisa jawab kenapa dia merasa tersudutkan. Tapi saya kira kalau betul-betul ada dokter yang melakukan perbuatan ini ya ini kriminal,” ungkap Nila usai rapat dengan Komisi IX di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin (18/7/2016).

Dalam kasus vaksin palsu, dinilai Nila bukan hanya melibatkan dokter semata. Sehingga ini tidak terkait dengan perihal profesi.

“Ini Oknumlah. Karena produsen yang disebut melakukan kan ada mantan perawat? Itu juga kriminal. Jadi kalau saya misalnya dokter juga melakukan itu, saya kriminal. Jadi nggak mau menyalahkan,” ujar Nila.

Expose terhadap kasus ini juga menurutnya dilakukan sebagai bentuk perlindungan bagi masyarakat. Sebab anak yang mendapat suntikan vaksin palsu pada akhirnya tidak mendapat perlindungan kekebalan tubuh dari berbagai jenis virus atau sumber penyakit.

“Kami kan harus melindungi masyarakat dengan memberikan kekebalan tubuh anak kembali,” ucapnya.

Soal dokter-dokter yang tergabung dalam IDI menolak melakukan imunisasi sampai kasus vaksin palsu selesai, Nila belum bisa berkomentar banyak. Namun melayani masyarakat disebutnya merupakan hakekat tugas dari seorang dokter.

“Saya belum dengar ya, tapi dokter kan banyak. Kalau cuma satu dokter yang bilang, dokter lain banyak. IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia) buktinya dengan kami melakukan kok. Memang tugasnya,” tegas Nila.

Sementara itu, Ketua Komisi IX Dede Yusuf menilai bahwa profesi tidak disalahkan dalam kasus vaksin palsu. Ia pun mengimbau agar masyarakat tidak melaukan tindak-tindak anarkis.

“Yang disalahkan adalah oknum, jadi pada dasarnya ini salah dokter, oh nggak bisa, dokter yang baik lebih banyak. Oh ini salah rumah sakit, tidak bisa karena RS yang baik juga lebih banyak,” kata Dede di lokasi yang sama.

“Jadi ada oknum-oknum yang kebetulan ada yang berprofesi dokter, bidan, apoteker. Jadi saya mengimbau kepada masyarakat jangan menyalahkan profesi,” imbuh politisi Demokrat itu.

Menurut Dede, tidak berarti jika ada pihak RS yang terkait dalam kasus vaksin palsu maka itu berarti secara general semua pihak di rumah sakit tersebut terlibat. Seperti di ketahui, ada 14 rumah sakit dan beberapa fasilitas pelayanan kesehatan lain yang menjadi penggunanya.

“Jadi supaya menjadi jernih melihatnya bahwa kalau ada yang disebutkan 14 nama RS, RS X misalnya seperti itu, berarti seluruh RS itu salah? Tidak. Kepada masyarakat semua, tolong jangan salahkan dokter atau tenaga kesehatan begitu saja,” pinta Dede.

“Karena mereka bisa saja tidak tahu. Polisi saja tidak bisa membedakan antara yang palsu atau tidak,” sambung dia.

Sebelumnya Ketua IDI Prof Dr Ilham Oetomo Marsis SpOG mengklaim bahwa ada grand design untuk memojokkan kedokteran Indonesia. para dokter disebutnya merasa terpojok dan IDI menolak memberikan pelayanan imunisasi sampai kasus ini selesai.

“Kalau rasa aman tidak bisa didapatkan, kami tidak bisa melayani imunisasi sampai ini selesai. Saya melihat ini grand design untuk memojokkan kedokteran Indonesia,” beber Ilham dalam jumpa pers IDI, Senin (18/7).

IDI pun menuntut agar pihak berwajib segera mencari aktor intelektual dalam masalah ini. Menurut mereka, dokter hanyalah bagian hilir terkait kasus vaksin palsu tersebut dan penyebab utamanya adalah betapa lemah pengawasan pihak terkait sehingga vaksin palsu bisa beredar.

Sumber: Detik

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *