Komunitas Tanggul Budaya; Tangkal Efek Negatif Budaya Luar

Komunitas Tanggul Budaya berdiri sekitar tahun 2011. Komunitas yang terletak di Tanggul Dawung Wetan Rt 03/XV kelurahan Danukusuman Surakarta bersama dengan Teater Ruang. Komunitas ini berdiri karena ada gagasan bahwa Teater Ruang tidak bisa menerima anggota dari luar. Bagi mereka yang orang berasal dari luar harus melewati komunitas dulu. Akhirnya dibentuklah komunitas Tanggul Budaya di sekitar tanggul.

Diceritakan oleh Joko Bibit selaku penggagas dan penanggungjawab seluruh kegiatan, bahwa dulunya fungsi tanggul adalah untuk menjaga luapan sungai Bengawan Solo agar tidak sampai ke bagian utara tanggul. Namun, karena arah sungai sudah mulai diubah dan tidak ada lagi banjir, fungsi tanggul diubah untuk tanggul budaya.

Tetapi sejatinya sama saja, jika tanggul secara fisik untuk menahan air, tanggul budaya memiliki filosofi untuk menangkal kebudayaan asing. Diakui Joko bahwa budaya asing juga memberikan efek positif, tapi penangkalan ini untuk efek-efek yang bersifat negatif. “Tanggul Budaya ini untuk menangkal efek negatif dari budaya asing agar kebudayaan tradisi kita tetap lestari,” ungkapnya.

Dengan adanya komunitas Tanggul Buday a inilah, perorangan, kelompok seni, maupun kelompok teater bisa berkumpul bersama dengan menggunakan nama komunitas Tanggul Budaya. Mereka bersama-sama menghidupkan komunitas. “Sejak ada komunitas ini, banyak kelompok-kelompok teater maupun kelompok kesenian lain yang ikut meramikan,” ujarnya.

Kegiatan yang mereka lakukan awalnya adalah Wayang Tradisi Kreatif (Watak). Kemudian mereka menggelar karawitan untuk kelompok karawitan warga. Mereka juga mengadakan acara pentas teater untuk Teater Ruang maupun kelompok teater siswa dan mahasiswa baik di Solo maupun di luar Solo. Pentas ketoprak juga pernah digelar di komunitas ini.

Luar Daerah

Bahkan, mereka memiliki kegiatan unik Gerilya Budaya. Kegiatan ini mereka lakukan di kampung-kampung di berbagai daerah di eks-Karesidenan Surakarta. Hal yang membuat mereka merasa puas ketika mengadakan Gerilya Budaya, kampung-kampung yang mereka datangi ternyata bisa menjadi kantong-kantong budaya. “Misalnya kemarin saat kita di Sragen, ada ketoprak yang sudah lama tidak jalan, kita mau ke situ mereka latihan sungguh-sungguh untuk ikut tampil dan semangat hidup itu ada kembali,” jelas Joko Bibit.

Selain Gerilya Budaya, mereka juga memiliki kegiatan berupa Gaul Sastra. Kegiatan ini membahas semua yang berkaitan dengan sastra. Di acara ini, biasanya selalu ada bintang tamu seorang sastrawan. Kemudian, peserta pun membawakan karya dari sastrawan yang menjadi tamu dengan cara mereka sendiri.

Baru setelahnya semua orang berdiskusi dan berbagi pikiran dengan sastrawan mengenai karyanya itu. Di acara Gaul Sastra ini tak jarang seorang sastrawan terkejut melihat karyanya dibawakan dengan cara yang tidak dia duga. Acara Gaul Sastra bahkan tidak hanya menarik bagi warga penyuka sastra di Kota Solo, tapi juga luar daerah.

Berdayakan Warga Sekitar

Banyak kegiatan yang dilakukan oleh Komunitas Tanggul Budaya baik untuk seniman yang ingin berkarya maupun untuk memberdayakan warga sekitar. Komunitas Tanggul Budaya yang saat ini dipimpin oleh Ratna Hadi, alumni Teater Kidung Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS), memang memiliki misi melestarikan kebudayaan dan menjadikan  warga di sekitarnya mengenal kebudayaan, dalam hal ini berupa kesenian.

Mereka juga mengajak warga di sekitarnya termasuk anak-anak untuk belajar berteater, belajar gamelan dan belajar nembang. Tidak hanya berlaku bagi anak-anak tapi juga untuk orangtua. Para warga pun terlihat antusias dan bersemangat ketika diajak pentas oleh Komunitas Tanggul Budaya. Mereka tidak cukup hanya pentas di wilayah Komunitas Tanggul Budaya bahkan mereka juga sampai ke daerah lain.

“Saya akui anak-anak di sini merupakan anak  yang cerdas. Mereka bisa menangkap dengan baik setiap yang diajarkan. Semangat mereka juga tinggi. Saya sangat berharap mereka-mereka ini kelak akan jadi orang yang sukses,” ungkap Penggagas dan Penanggungjawab Kegiatan Komunitas Tanggul Budaya, Joko Bibit.

Akhir-akhir ini, ujar Bibit belum lama ini, Komunitas Tanggul Budaya memiliki kegiatan yang berbeda dengan kebiasaan mereka. Mereka memiliki kegiatan baru berkebun yang mereka namakan Omah Kebun. Di Omah Kebun ini ditanam beberapa sayur dengan teknik hidroponik. “Sayur yang kita tanam seperti bayam, kangkung dan sawi,” jelasnya.

Saat ini, memang sayuran yang mereka hasilkan masih untuk konsumsi sendiri, tapi mereka berharap warga sekitar akan ikut tergerak untuk mengikuti kegiatan berkebun yang murah dan jika ditekuni bisa menghasilkan. Pupuk yang mereka pakai adalah pupuk kompos yang mereka buat sendiri. Hal ini karena mereka berharap bisa menanamkan hidup sehat dengan memakan makanan organik. “Kita ingin berkesenian sambil bertani. Semoga saja budaya tani ini juga bisa ditiru oleh warga,” pungkasnya. 

Sumber: Joglosemar

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *