Sejumlah jurnalis yang tergabung dalam Jaringan Jurnalis Perempuan (JJP) Jawa Tengah, menggelar aksi unjuk rasa menolak segala bentuk kekerasan pada anak. Aksi ini untuk memeringati Hari Anak Nasional (HAN) 2016.
Aksi yang digelar di depan Patung Diponegoro,Universitas Diponegoro (Undip) Pleburan Semarang, Jalan Pahlawan, Jumat (22/7/2016) pukul 09.30 WIB tersebut, diikuti oleh para jurnalis perempuan dari berbagai media cetak maupun elektronik.
Mengenakan pakaian seragam Sekolah Dasar (SD) berupa merah putih, serta seragam Sekolah Menengah Pertama (SMP) putih dan biru, mereka melakukan aksi teatrikal. Yakni menyelenggarakan sekolah di luar ruangan, lengkap dengan tokoh guru.
Selain membentangkan poster berisi pesan penolakan kekerasan pada anak, dalam aksi teaterikal ini juga memberikan pesan bahwa aksi kekerasan pada anak berupa bullying antar siswa, dari guru ke siswa, serta oleh lingkungannya, sering terjadi. “Apapun alasannya kekerasan pada anak harus dihentikan,” tegas Ketua JJP Jateng, Rita Hidayati di sela aksi.
Ia menyebutkan, data terakhir yang diperoleh dari Badan Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (BP3AKB) Provinsi Jawa Tengah, hingga semester satu memasuki semester dua ini, sudah ada 566 anak yang mengalami kekerasan di Jateng. “Itu untuk usia 0-17 tahun. Sangat memprihatinkan,” tandasnya.
Di Kota Semarang sebagai ibukota Provinsi Jateng, misalnya, kasus kekerasan terhadap anak pun masih memprihatinkan. Setidaknya, JJP dalam setahun belakangan menyorot kasus ketidakadilan yang menimpa korban kekerasan seksual yang hingga kini masih belum diadili pelakunya.
Rita menyebut, ada kasus kekerasan seksual pada anak di Banyumanik yang sangat lambat ditangani Kepolisian. Kasus tersebut menimpa RZ (12) yang diperkosa tetangganya sendiri, dan sudah setahun tidak juga mendapati proses hukum yang jelas.
“Saat itu kami konfirmasi ke penyidik di Polrestabes kasus belum bisa disidangkan karena tidak ada saksi. Kami menyayangkan itu,” tegasnya.
Maka JJP Jateng menyerukan tuntutannya kepada pemerintah agar lebih memperhatikan kondisi anak, supaya tidak ada lagi orangtua yang tidak melindungi mahkluk rapuh tersebut. Tuntutan tersebut antaralain pertama, aparat Penegak Hukum (APH) menuntaskan kasus kekerasan seksual dan fisik pada anak yang mangkrak. Kedua, hukum berat pelaku kekerasan pada anak tanpa pandang bulu.
Ketiga, menggugat predikat kota layak anak, apakah sudah benar-benar menjadi tempat tinggal yang aman bagi anak. Keempat, stop tayangan televisi yang tidak mendidik. Kelima, perlindungan anak jangan hanya sekadar slogan bagi pemerintah dan orangtua. Aksi yang memperoleh pengawalan ketat dari petugas kepolisian setempat tersebut, berlangsung sekira 30 menit.
Sumber: Tribun News Jateng