HRWG Indonesia: Upaya Advokasi Harus Dapat Dijangkau Dan Digunakan Oleh Masyarakat sipil

Perlindungan, jaminan dan pemenuhan hak asasi manusia dalam arti sepenuhnya adalah menjadi tanggungjawab negara untuk mewujudkannya, kepada seluruh warga negara, tanpa membeda-bedakan keyakinan, agama, ras, warna kulit, serta aliran politik tertentu. Serta bentuk-bentuk diskriminasi lainnya. Hal ini termaktub di dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB, dan seluruh Konvensi-konvensi HAM PBB lainnya.

Jaminan atas hak-hak asasi manusia tersebut juga dirumuskan dalam UUD 1945, Peraturan Perundangan lain, seperti Ketetapan MPR No XVII/MPR/1998 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-undang Nomor 26/2000 tentang pegadilan HAM serta peraturan lain yang menetapkan bahwa Indonesia telah meratifikasi Konvensi Internasional HAM dan sekaligus pula menjadikan Indonesia sebagai Negara Pihak Konvensi tersebut.

Dalam perjalanannya, kenyataan menunjukkan bahwa perkembangan situasi hak asasi manusia di Indonesia masih terjadi dalam berbagai bentuk pelanggaran atau kejahatan, baik dalam konteks hak sipil dan politik maupun dalam konteks hak ekonomi, sosial dan budaya. Cerminan pelbagai bentuk penindasan, perbudakan, ketiadaan hukuman (impunitas) bagi pelaku pelanggaran HAM, kejahatan terhadap lingkungan dan sumber daya alam, perampasan terhadap hak-hak masyarakat adat, kejahatan terhadap para pembela HAM (human rights defenders), penyiksaan dan perlakukan kejam lainnya, pengabaian hak-hak buruh migran, kekerasan terhadap perempuan dan anak, kekerasan terhadap kelompok aliran kepercayaan/keagamaan dan kelompok minoritas lainnya, kejahatan yang terjadi akibat dari kekuasaan yang korup, ketidakprofesionalan TNI dan Polri, mafia peradilan, serta ketidaksetaraan dan ketidakadilan relasi kekuasaan baik di tingkat lokal, nasional maupun global, merupakan deretan fakta yang sulit dibantah. Senyatanya, memang kondisi HAM di Indonesia masih sangat memprihatinkan.

Untuk mendorong terwujudnya penegakan, perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia, terwujudnya keadilan dan kesetaraan serta perdamaian, maka diperlukan keikutsertaan masyarakat sipil dalam melakukan kerja-kerja hak asasi manusia baik di tingkat nasional, regional dan internasional. Keterlibatan ini menjadi sebuah keharusan dan niscaya, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga hampir di seluruh negara, masyarakat sipil menjadi salah satu pilar penting pemajuan dan perlindungan HAM.

Dalam upaya merespon persoalan hak-hak asasi manusia tersebut pula, pada tahun 2003 sekitar 20 (dua puluh) lembaga yang berkonsentrasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia mendirikan HRWG (Human Rights Working GroupIndonesian Ngo Coalition for International Human Rights Advocacy – Kelompok Kerja Koliasi Ngo Indonesia untuk advokasi Internasional Hak Asasi Manusia).

Dalam perkembangannya pula, secara global mekanisme hak asasi manusia semakin kompleks dan komprehensif, baik mekanisme yang berada di bawah Charter Based (dulu masih bernama Komisi HAM PBB yang berada di bawah Dewan Ekonomi dan Sosial PBB) ataupun mekanisme yang ada di bawah Treaty Based (yaitu mekanisme dari setiap Konvensi HAM yang telah dibuat dan diratifikasi oleh Negara Pihak). Dalam hal demikianlah, segala upaya advokasi harus dijangkau dan digunakan oleh masyarakat sipil untuk memberikan dampak positif yang sebesar-besarnya bagi pemajuan, perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia di tingkat nasional.

Dengan beragam isu dan bidang advokasi dari seluruh lembaga masyarakat sipil yang ada di Indonesia terdapat suatu kecenderungan bersama untuk menggunakan mekanisme-mekanisme internasional tersebut dalam advokasi nasional. Apalagi, fakta bahwa mekanisme nasional tak cukup efektif untuk digunakan untuk melindungi hak asasi manusia sulit untuk dibantah. Atas persamaan pandangan dan tujuan ini pula, jaringan masyarakat sipil di Indonesia bersama-sama membentuk suatu jaringan kerja advokasi HAM khusus untuk level internasional sebagai Sekretariat bersama dalam bentuk koalisi. Hal ini pula yang kemudian menjadi cikal-bakal terbentuknya sebuah lembaga yang bernama Human Rights Working Group (HRWG) di Indonesia.

Dari beragam gagasan dan kecenderungan yang muncul ini, pembicaraan untuk membentuk sebuah Sekretariat koalisi dilakukan secara formal di Bogor pada tanggal 6 – 8 Februari 2003. Pada pertemuan ini, terdapat 20 lembaga non-pemerintah (non-government organization/NGO) yang hadir dan semuanya memiliki perhatian dan komitmen terhadap penegakan, pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia di Indonesia. 20 lembaga ini bekerja untuk isu-isu hak asasi manusia, dengan fokus advokasi yang berbeda, antara lain adalah bidang hak asasi manusia (mainstream), bantuan hukum, lingkungan, demokrasi, kebebasan berekspresi, keadilan sosial, Papua, perempuan, anak, reformasi hukum, masyarakat adat, minoritas, buruh, buruh migran, perdamaian, kekerasan, buruh migran dan sebagainya.

Beberapa Lembaga yang hadir tersebut adalah Elsam, Kontras, Imparsial, PBHI, INFID, Walhi, Yappika, Demos Indonesia, Infohd, Voice of Human Rights (VHR), Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI), ASAD Aliansi Sipil untuk Aceh Damai, IGJ, SKP Papua, Kalyanamitra, KRHN, Kopbumi, LBH Aceh, LBH Apik, LBH Surabaya, LSPP, LP HAM, ORI Sumatera, RPUK Aceh, Solidaritas Perempuan, TAPAL, Urban Poor Concorcium (UPC), LBH Jakarta, RACA Institute, Kikis, Yayasan Kemala, Mitra Perempuan, Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), KBH Bengkulu, Praxis dan Elsham-Papua.

Pertemuan ini menghasilkan keputusan untuk membentuk Sekretariat Bersama advokasi HAM internasional yang bernama Human Rights Working Group: Indonesia’s NGO Coalition for Internasional Human Rights Advocacy, dengan koordinator Rafendi Djamin dan dibantu oleh beberapa program officer. Dalam perjalanannya, bersama-sama dengan Anggota yang terlibat di dalam Koalisi tersebut, HRWG menjalankan mandatnya dalam advokasi HAM di PBB untuk beberapa tahun setelahnya.

Sampai pada tahun 2009, dengan semakin meningkatnya proses advokasi yang dilakukan oleh HRWG, baik dari segi isu ataupun jangkauan wilayah advokasi, HRWG mendefinisikan diri sebagai Badan Hukum yang terdaftar dengan status sebagai Perkumpulan. Di sisi yang lain, Anggota Koalisi dalam Sekretariat HRWG yang awalnya hanya berjumlah 20 lembaga, saat ini telah mencapai 47 lembaga. Hal ini berdasarkan kepada Rapat Umum Anggota HRWG I yang dilaksanakan pada 14 – 15 Desember 2009.

Untuk kepentingan administrasi pula, HRWG didaftarkan sebagai organisasi sejak 29 Maret 2010 melalui Akta Notaris No. 22 oleh Notaris Ukon Krisnajaya, SH., SpN., di Jakarta.

Sumber: Laman HRWG

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *