Ryan Sucipto: Kegiatan Sosial itu untuk Semua Orang 

Sekilas sosoknya terlihat sama saja dengan remaja lainnya, namun jangan salah, apa yang ia lakukan mungkin dapat membuat anak muda seusianya merefleksikan soal kontribusi apa yang mereka sudah berikan kepada orang-orang di sekitarnya, terutama masyarakat dan anak-anak prasejahtera.

Perkenalkan, ia adalah Ryan Sucipto. Pemuda asal Ranah Minang yang lahir 20 tahun silam ini merupakan pendiri ‘Social Designee’ atau sebuah wadah kerelawanan yang fokus memberikan pendidikan seni kepada anak-anak prasejahtera usia dini.

Pembentukan ‘Social Designee’ diceritakan mahasiswa seni desain grafis Universitas Multimedia Nusantara ini berawal dari keresahannya akan ekslusivitas keanggotaan komunitas sosial yang ia ikuti di kampusnya pada semester pertama perkuliahannya. Ia melihat, banyak mahasiswa, termasuk teman-temannya yang ditolak karena tak sesuai dengan kriteria komunitas.

“Teman-teman cerita ke saya mereka kecewa nggak bisa ikut kegiatan komunitas itu. Gimana ya,  semua orang itu kan sebenarnya berhak untuk berbuat baik kepada orang lain. Kegiatan sosial itu untuk semua orang,” ujarnya.

Tak tinggal diam, ketika dicalonkan jadi ketua komunitas tersebut, ia berusaha membuka jalan bagi para mahasiswa dengan mengajukan program baru berbasis kerelawanan yang mengusung prinsip keterbukaan. Akan tetapi sayang, idenya ditolak mentah-mentah. Hal inilah yang kemudian mendorongnya untuk keluar dan mendirikan komunitasnya sendiri pada 2015.

Baca selengkapnya soal Social Designee di https://komunita.id/2017/01/24/social-designee-asah-kreativitas-anak-desa-melalui-seni-dan-desain/

Langkah awal komunitasnya ini bisa dibilang tak mulus. Ryan menceritakan, di awal pendiriannya di tahun 2015, ia tak punya bala bantuan tenaga relawan, melainkan hanya modal nekat dan semangat. Alhasil ia urus semuanya sendiri dari nol, mulai dari mencari kampung yang akan dibantu hingga ide kegiatan untuk anak-anak didik.

Tambah Ryan, “Awalnya tuh sebenarnya instagram aku bentuk, disitu aku bikin-bikin desain poster event sosial. Lalu lama-kelamaan aku mulai keliling cari anak-anak dan ajak mereka menggambar bersama. Itu nama desanya, desa Curug Wetan. Syukurlah, mereka senang sekali aku ajak gambar.”

Dan simsalabim, berkat kegigihan dan kerja kerasnya mengajar dan mengajak teman-temannya untuk jadi tenaga pendidik seni untuk anak-anak di perkampungan dekat kampusnya itu, komunitasnya berkembang dan makin banyak menebar manfaat untuk masyarakat, terutama anak-anak, serta telah melibatkan ratusan mahasiswa yang terjun jadi relawan untuk berbuat kebaikan.

Manfaat itu tak hanya berdampak buat masyarakat. Ryan menceritakan, ia juga mendapat manfaat itu dari banyak orang yang ia temui. Dari kegiatan yang kental interaksi dengan anak-anak ini Ryan belajar bagaimana cara berkomunikasi dengan anak-anak dan pendekatannya yang berguna untuk diterapkan kepada kerabat terdekat.

“Aku juga jadikan ini sarana untuk mengembangkan diriku karena disini aku belajar seperti, public speaking dan menambah kepercayaan diriku, karena aku sebenarnya pemalu dan pendiam dulu,” tukasnya.

Memang, jika mengintip jendela masa lalu, Ryan sebenarnya merupakan sosok yang tak pandai bergaul dan pendiam. Hal ini datangnya dari kedua orang tua Ryan yang seringkali membatasi Ryan untuk bermain di luar. Mereka lebih senang kalau anaknya bermain dalam rumah dan bermain dengan mainannya. Alhasil, pada saat Ryan duduk di bangku SMA dan pindah ke Pekan Baru, Riau, ia tak punya teman untuk mencurahkan cerita dan keluh kesah kala dilanda masalah keluarga.

Hingga suatu ketika sebuah kejadian akhirnya membuka dirinya dan ia pun berubah jadi pribadi yang terbuka dan mudah bergaul. Kejadian itu ia dapati saat ia berkunjung ke sebuah panti asuhan di semester pertama di dunia perkuliahan. Disitu ia berinteraksi dengan anak-anak panti asuhan yang ceria dan terlihat sangat bersyukur akan kehidupan yang mereka miliki. Hal ini juga lah yang kemudian mendorongnya untuk terlibat aktif dalam kegiatan sosial di kampusnya dan mendirikan komunitas sosial.

“Di tempat itu saya jadi mikir, masalah yang saya hadapi nggak seberapa dibandingkan anak-anak ini. Mereka bahkan nggak punya orang tua, tapi mereka punya semangat hidup ,” jelasnya diiringi tawa kecil.

Pemuda yang bermimpi menjadi pendidik dan desainer ini berharap suatu saat ia bisa mendirikan sebuah sekolah atau sanggar untuk anak-anak prasejahtera mengembangkan bakat dalam bidang kesenian. Pasalnya ia menyoroti bahwa sekarang ini di beberapa sekolah yang ia telah kunjungi kekurangan tenaga pengajar dalam hal TIK, olahraga, dan juga kesenian.

“Saya juga berharap teman-teman mau jadi pendidik kedepannya, membantu anak-anak ini untuk punya skill/kemampuan di luar pelajaran sekolah,” tutupnya.

 

Dokumentasi: Ryan Sucipto 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *