Secangkir Kopi Surabaya: Karena Setiap Orang Butuh Pundak Untuk Bersandar

Bagi sebagian orang, berbagi cerita kepada orang lain, barangkali, bukan kebutuhan. Banyak yang lebih sreg diam seribu bahasa. Sebisa mungkin, masalah tertutup rapat. Apalagi jika mengandung aib. Komunitas Secangkir Kopi berusaha mengubah pemikiran itu.

NIMAS Mega Purnamasari bilang, semua orang butuh pundak untuk bersandar. Kalau tidak, endapan masalah akan jadi depresi. Bisa meledak. Bak mercon tersulut apik. Bak pentol korek kena gesek.

Kalau sudah begitu, apa pun bisa dilakukan untuk menghilangkan bunuh diri. Mulai shopping spree alias melampiaskan dendam lewat belanja hingga bunuh diri. Nimas ingin menghindarinya. Terutama di kalangan anak-anak muda di Surabaya. ’’Ternyata, angka bunuh diri di Indonesia sudah mencapai 800 ribu orang,’’ ucapnya. Itulah angka yang tercatat sejak 2015 sampai saat ini.

Pada 20 Oktober Nimas menggagas komunitas Secangkir Kopi bersama kawannya, Vito Satwika. Karena anyar, komunitas itu pun masih berjuang mencari peserta. Sistemnya jemput bola. Nimas dan Vito rajin menyambangi kampus-kampus di Surabaya. Hanya segelintir mahasiswa yang sudah bergabung.

Nama Secangkir Kopi dipilih berdasar kebiasaan remaja saat ini. ’’Ngobrol masalah, tapi sambil santai,’’ jelas Vito, pria lulusan SMA Negeri 14 Surabaya, tersebut.

Selain teknik jemput bola, Nimas dan Vito memiliki satu cara tersendiri untuk mempromosikan komunitasnya. Yakni, melalui jejaring media sosial. Mereka membuat satu akun khusus untuk mewadahi mereka yang ingin bergabung di Instagram. Akunnya adalah @secangkirkopi.sby.

Menurut mereka, penggunaan media sosial bisa lebih praktis. Tidak hanya digunakan sebagai ajang promosi. Akun tersebut juga bisa digunakan sebagai pengingat. Tentang jadwal pertemuan hingga tema apa yang akan mereka usung pada pertemuan selanjutnya. ’’Apalagi anak muda zaman sekarang. Mana ada yang nggak pakai Instagram,’’ ucap Nimas.

Pertemuan perdana Secangkir Kopi berlangsung pada Sabtu (28/10) di salah satu restoran di kawasan Jemursari. Ketika itu restoran tersebut terasa sepi. Jam masih menunjukkan pukul 15.00. Dalam suasana itu, Nimas dan Vito mojok untuk ngobrol. Mereka menuju tempat yang tiga mejanya sudah ada tulisan reserved. Sudah dipesan.

Namun, yang datang tidak banyak. Dari tiga meja tersebut, hanya dua yang terpakai. Satu untuk peserta, satu lagi untuk barang-barang. ’’Padahal, yang konfirmasi banyak banget. Apa karena dadakan, ya?’’ ucap Nimas.

Akhirnya, diskusi pun dilangsungkan hanya dengan lima peserta. Sedikit, memang. Namun, peserta datang dari berbagai latar belakang. Dua di antaranya sudah bekerja di sebuah perusahaan. Sementara itu, tiga lainnya masih mahasiswa. Akhirnya, satu per satu diberi kesempatan untuk mengenalkan diri.

’’Jangan lupa sebutkan lima fun fact tentang kalian yang tidak diketahui orang lain ya,’’ kata Vito mengawali pembicaraan.

Karena setiap peserta tidak saling kenal, yang terjadi adalah keheningan. Tidak ada satu orang pun yang mau mengawali perkenalan. ’’Ya udah, deh, aku dulu yang memperkenalkan diri,’’ ungkap Nimas memecah keheningan.

Perempuan alumnus jurusan sastra Inggris Universitas Negeri Surabaya (Unesa) itu bercerita tentang ketakutannya yang aneh. Perempuan 23 tahun tersebut paling takut dengan tempe. Dia selalu jingkrak-jingkrak saat melihat makanan itu. ’’Mungkin karena itu nggerumbul jadi satu, terus ada jamurnya. Makanya nggilani,’’ ucapnya sembari bergidik membayangkan tempe. Sungguh, fobia yang aneh.

Fakta baru tersebut membuat semua peserta Secangkir Kopi terpana. Tidak ada satu pun di antara mereka yang berani berkata-kata. Mereka hanya tertawa terbahak-bahak. Celetukan Nimas itu pun mencairkan suasana.

Satu per satu di antara mereka mengutarakan lima fakta yang tidak diketahui orang lain. ’’Kalau aku sering menggumam nggak jelas sih di sepeda motor,’’ ucap Vito, lantas tertawa.

Setiap pertemuan memang punya tema. Jadi, setiap bertemu para peserta punya bahan pembicaraan. Untuk pertemuan pertama tersebut, topik pembicaraan adalah kegagalan hidup. Kali ini Nimas mempersilakan peserta untuk bercerita.

Orang pertama yang menawarkan diri adalah Reza Esfandiari. Alumnus jurusan tata boga Unesa itu pernah bekerja di sebuah restoran di kawasan Sidoarjo sebelum lulus. Posisinya cukup penting.

Meski begitu, yang muncul bukan kebanggaan. Reza justru terbebani oleh pekerjaan itu. Apalagi, skripsinya sampai tertunda. ’’Waktu itu aku harus bolak-balik Surabaya–Sidoarjo demi kerjaan,’’ katanya.

Jam kerja Reza juga tidak beraturan. Setiap hari dia harus masuk pukul 08.00 hingga tutup toko. Yakni, sekitar pukul 21.00. Jadi, setiap hari Reza bekerja lebih dari 12 jam. Setiap minggu dia diberi jatah sehari untuk libur. Namun, saat hari libur pun dia harus mau disibukkan pekerjaan. ’’Kalau saya nggak ada, pasti ada aja masalahnya,’’ paparnya. Akibatnya, dia harus siap di kantor meski libur. ’’Pernah waktu itu kedatangan bupati dan tidak ada yang siap. Jadi, tetap kudu ngantor deh,’’ ungkapnya.

Bagi Reza, hal itu merupakan sebuah kegagalan. Sebab, karena pekerjaannya, dia tidak memiliki hidup. Setiap waktunya digunakan untuk pekerjaan. Pendidikannya pun tertunda. Maka, Reza pun quit. Berhenti dari pekerjaannya. Lebih memilih pendidikan. ’’Tapi, tidak bisa dimungkiri, aku sayang sekali sama timku waktu itu. Berat rasanya meninggalkan mereka,’’ paparnya ketika itu.

Peserta lain yang berbagi cerita adalah Anindya K. Wardani, mahasiswi sastra Inggris Unesa. Saat ini dia masih menunggu kelulusan. Kecemasannya sudah menyergap. ’’Aku takut kalau sudah lulus nanti mau kerja apa,’’ ungkapnya. Dia takut jadi penganggur.

Bayangan kegagalan terus menghantuinya. Terlebih, Anindya sudah sekolah sampai tinggi. ’’Itu cuma pikiranmu saja, kok,’’ ucap Rasti Sindu Swestilangen, salah seorang peserta diskusi, saat menepis kegalauan Anindya.

Rasti merupakan mahasiswa angkatan di atas Anindya. Saat ini dia bekerja sebagai human resource development (HRD) di sebuah perusahaan. Dulu, dia juga dihantui masalah serupa. Tepat sebelum lulus, Rasti takut tidak memiliki pekerjaan. Padahal, dia adalah seorang sarjana. Namun, dia membuktikan bahwa kecemasannya itu tidak berdasar.

Perempuan lulusan jurusan psikologi Unesa tersebut lancar saat melamar pekerjaan di sebuah perusahaan. Pengalamannya berorganisasi membuatnya dipercaya untuk menjadi karyawan HRD. Kini Rasti memiliki andil besar di perusahaan tempatnya bekerja.

Ya, itulah suasana pertemuan Secangkir Kopi yang direncanakan berlangsung tiap bulan. Menurut Nimas, komunitas semacam itu mulai terbentuk di Solo, Jakarta, dan Malang. Nimas sebagai founder menganggap bahwa mereka yang ada di kota besar memiliki potensi depresi yang tinggi. Karena itu, keberadaan komunitas seperti ini memang perlu. ’’Apalagi, banyak orang yang enggan bercerita ke teman terdekatnya,’’ ungkapnya.

Nah, di situlah fungsi komunitas tersebut. Mereka sebagai orang asing dan tidak bersentuhan langsung dengan lingkungan para peserta. Kemungkinan cerita tersebut akan tersebar kecil. Dengan begitu, si pemilik cerita pun tidak perlu takut untuk meluapkan kemarahannya. Mereka bisa dengan leluasa berbagi cerita kepada setiap peserta. Namun, tentu dengan kode yang tetap harus dipegang mereka sendiri. Yakni, cerita tersebut hanya berakhir di komunitas. ’’Pada dasarnya, setiap orang ingin didengar,’’ kata Nimas, anak kedua dari tiga bersaudara itu.

Vito menambahkan, komunitas tersebut tidak akan berbentuk konseling. Apalagi penyedia solusi akan setiap masalah. Mereka hanya menawarkan pundak untuk bersandar. ’’Sebab, belum tentu saran yang diberikan cocok dengan si penerima,’’ ungkap mahasiswa Universitas Surabaya (Ubaya) tersebut.

Secangkir Kopi dibuka untuk berbagai kalangan. Namun, kini yang bergabung adalah mereka yang berada di usia rentan, yakni 17–25 tahun. ’’Kita akan lihat bagaimana ke depannya saja,’’ kata Vito.

Yang jelas, Vito dan Nimas berharap komunitas itu akan lebih stabil sehingga bisa terus memberikan pundak untuk bersandar kepada setiap pemuda di Surabaya. Bukan hanya itu, mereka juga berharap antusiasme serupa datang dari kota lain. Dengan begitu, setiap pemuda yang ada di Indonesia memiliki tempat untuk curhat, tanpa batasan. ’’Apalagi kalau bisa membentuk karakter dan moral generasi ke depan,’’ jawab Nimas kala itu.

Sumber: JAWA POS

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa profil komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *