Komunitas Tjimahi Heritage Telusuri Jejak Sejarah Dalam Acara “Jelajah Tjipageran”

Meski tak memiliki banyak tempat bersejarah, setidaknya Cimahi memiliki beberapa tempat yang bisa dikunjungi sebagai tempat napak tilas berbau sejarah untuk mengulas bagaimana Kota Cimahi zaman dulu.

Komunitas Tjimahi Heritage sebagai salah satu komunitas pegiat sejarah, khusus di Kota Cimahi, kembali melakukan penelusuran jejak sejaran di kota dengan hanya tiga kecamatan ini.

Minggu, 1 Juli 2018, Komunitas Tjimahi Heritage menelusuri jejak sejarah di sekitaran daerah Cipageran, Kecamatan Cimahi Utara, dengan tajuk ‘jelajah tjipageran’.

Penelusuran diawali dengan mengunjungi Tempat Pemakaman Umum (TPU) Cipageran, TPU Santiong, hingga Kabuyutan Cipageran yang seluruhnya berada di satu kawasan di sepanjang Jalan Kolonel Masturi.

Di TPU Cipageran, komunitas tersebut mendapati makam salah satu karuhun yang ada dimakamkan di Cimahi, yakni Mbah Wira Suta dan istrinya, Eyang Fatimah Sariwangi, yang ditempatkan di bangunan khusus di tengah area pemakaman.

“Bagi masyarakat Cipageran, mereka dianggap sebagai leluhur karena membuka wilayah Cipageran menjadi permukiman dan berperan menyebarkan Islam di wilayah ini,” ujar penggiat Tjimahi Heritage, Machmud Mubarok, saat ditemui disela-sela kegiatan.

Seperti kebanyakan makam pada zaman dahulu, di makam Mbah Wira Suta dan Eyang Fatimah Sariwangi, pun tak ditemukan keterangan tertulis mengenai kapan tepatnya mereka wafat.

Identik dengan makam karuhun, di makam keduanya, juga terdapat sejumlah tangkai bunga mawar segar yang ditempatkan di makam keduanya, sebagai ciri jika makam ini sering dijadikan tempat untuk tirakat dan berziarah.

Di kawasan tersebut terdapat makam tokoh-tokoh lain dari masa lampau yang dimakamkan di TPU Cipageran, antara lain Mbah Sayid, Mbah Geleng, Nyai Raden Natamirah yang merupakan istri dari Raden Hardjawinata Patih Sumedang, keluarga besar Hardjakusumah sebagai leluhur keluarga Bimbo dan lain-lain.

“Mereka pastinya memiliki peranan penting dalam bermasyarakat pada masanya hingga dimuliakan bahkan sebagian dikeramatkan oleh masyarakat. Pastinya, mereka berjasa dan memberi andil dalam kehidupan di Cimahi,” tuturnya.

Penempatan pemakaman sering di tempat dataran tinggi, begitu juga TPU Cipageran, yang bagi suku sunda biasa disebut ‘pasir’, yang secara harfiah bukan bermakna pasir pada umumnya, tetapi tempat tinggi.

Pada kompleks makam Cina Santiong, yang berseberangan dengan TPU Cipageran, pemandangannya bertolak belakang. Nisan yang ada di makam tersebut besar dan megah. Dilihat dari penanda nisan pada makam tersebut, banyak yang dimakamkan sebelum masa kemerdekaan.

“Tapi mulai ramai setelah kemerdekaan karena tahun 1950-an lahannya masih kosong. Memang identik kalau lewat Kolmas ya makam Santiong,” terang Mahmud.

Di Kabuyutan Cipageran, terdapat sebuah sumber mata air yang dianggap sakral. Setiap tahunnya, di kabuyutan tersebut selalu diadakan ritual kawin cai.

“Mata air di kompleks Kabuyutan Cipageran juga dianggap sakral. Dipercaya sudah ada dari dulu, mungkin juga suka dipakai oleh Wirasuta dan leluhur lainnya,” jelasnya.

Membahas mengenai alasan kawasan Cipageran menjadi salah satu daerah tua di Kota Cimahi, Mahmud menjelaskan lantaran nama Cipageran kerap muncul pada peta-peta tua.

“Bisa jadi cikal bakal Cimahi berawal dari Cipageran. Makam tua adalah peninggalan bersejarah, bukan hanya bangunan. Pemerintah harus turut andil memelihara, jangan hanya mengharapkan turunannya atau masyarakat,” tandasnya.

Editor: Rahmat Sudarmaji

Wartawan: Whisnu Pradana

Sumber: GALAMEDIA NEWS

Siarkan Beritamu Sekarang!
Redaksi komunita.id menerima tulisan berupa liputan acara komunitas untuk dipublikasikan. Panjang tulisan minimal 2 paragraf. Kirim artikel ke [email protected]. Jika tulisan sudah pernah dimuat di blog atau situs media online lainnya, sertakan pula link tulisan tersebut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *